Kamis, 22 Juli 2010

Prinsip Dalam Toleransi Beragama

Prinsip-prinsip toleransi agama ini, yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah, telah dimiliki Islam, maka sudah selayaknya jika umat Islam turut serta aktif untuk memperjuangkan visi-visi toleransinya di khalayak masyarakat plural. Walaupun Islam telah memiliki konsep pluralisme dan kesamaan agama, maka hal itu tak berarti para muballigh atau pendeta dan sebagainya  berhenti untuk mendakwahkan agamanya masing-masing. PERBEDAAN umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan SWT. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Tuhan SWT, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujurat 13). Segenap manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan SWT dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. *** Salah satu risalah penting yang ada dalam teologi Islam adalah toleransi antar penganut agama-agama yang berbeda. Risalah ini masuk dalam kerangka sistem teologi Islam karena Tuhan SWT senantiasa mengingatkan kepada kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat dan sebagainya. Dalam hal teologi, keragaman agama tentu menjadi titik fokus risalah toleransi ini. Toleransi adalah sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun untuk tak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal demikian, dalam tingkat praktek-praktel sosial, dapat dimulai dari sikap-sikap bertetangga. Karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antar penganut keagamaan dalam praktek-praktek sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana. Seorang muslim yang sejati  atau tanda-tanda keimanan seseorang  , dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW, adalah bagaimana dia bersikap kepada tetangga. "Man Kأ¢na Yu'minu Billأ¢hi wal-Yawmil-أ¢khiri Fal-Yukrim Jأ¢rahu", barang siapa yang beriman kepada Tuhan SWT dan Hari Akhir, maka hendaknya dia memuliakan tetangganya. Tidak ada sama sekali dikotomi apakah tetangga itu seiman dengan kita atau tidak. Dan tak seorang pun berhak untuk memasuki permasalahan iman atau tak beriman. Ini penting untuk diperhatikan, bahwa dikotomi seiman dan tak seiman sangat tidak tepat untuk kita terapkan pada hal-hal yang memiliki dimensi humanistik. Bahkan, ketika suatu saat Nabi Muhammad SAW hendak melarang seorang sahabat untuk bersedekah kepada orang non-muslim yang sedang membutuhkan, Tuhan SWT segera menegur beliau dengan menurunkan ayat, "Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siap yang dikehendaki-Nya" (QS. 2 : 272). Maksudnya, kita tidak perlu untuk membeda-bedakan orang-orang yang miskin, apakah mereka itu seiman dengan kita atau tidak. Mengapa? Karena petunjuk atau hidayah ada dalam kekuasaan Tuhan SWT. Sedangkan urusan manusia adalah mengajak kepada kebaikan, keadilan dan kesejahteraan yang ada di dunia. Dengan turunnya ayat tersebut, Nabi SAW pun segera memerintahkan umat Islam untuk bersedekah jika mendapatkan orang non muslim sedang membutuhkan (Riwayat Ibnu Abأ® Hأ¢tim dari Ibnu 'Abbأ¢s RA). Sikap-sikap yang diajarkan dari Tuhan SWT kepada Nabi SAW tersebut wajib untuk dilakukan oleh umat Islam dalam bersikap kepada non muslim, termasuk kepada, misalnya, orang tua kita yang, mungkin, tidak seiman dengan kita. Asma RA, putri Abu Bakar RA, pernah menolak ketika ibunya, yang non muslim, mau menemuinya . Akan tetapi, ketika berita itu sampai kepada Nabi SAW, maka beliau memerintahkan Asma supaya menemui dan menghormatinya. Ketika Nabi SAW dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi SAW langsung berdiri, memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata, "Bukankah mereka orang Yahudi, Wahai Rasul?". Nabi SAW menjawab, " …tapi mereka manusia juga". Jadi, sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT. Sedangkan kita bermuamalah dari sisi kemanusiaan kita.

Dengan demikian, sikap toleransi yang paling utama untuk kita tumbuh-kembangkan adalah praktek-praktek sosial kita sehari-hari, yang berdasarkan kepada prinsip, seperti yang telah disebutkan di atas, dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dan hal ini dengan kita awali bagaimana kita bersikap yang baik dengan tetangga terdekat kita, tanpa membedakan mereka dari sisi apapun. Namun, untuk bersikap toleran kepada tetangga tentu dapat kita mulai terlebih dahulu bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita. Jadi, sebelum kita bersikap toleran kepada tetangga, kita terlebih dahulu mencoba untuk membangun sikap plural dan perbedaan (pendapat) dalam anggota keluarga kita. Membangun sikap toleran dalam keluarga sangat penting, karena ia menjadi salah satu syarat mutlak untuk mencapai derajat keluarga sakinah yang penuh barokah dari Tuhan SWT. Sehingga, ketika dalam keluarga –sebagai komunitas terkecil— kita sanggup untuk mengelola perbedaan dan pluralisme, maka modal kemampuan itu akan menghantarkan kita kepada sikap toleran atas perbedaan-perbedaan dalam masyarakat (tetangga) dan yang lebih luas. Catatan-catatan ringan tentang aksi dan praktek toleransi tersebut di atas hendaknya tidak dipandang sebelah mata, sebab selama ini sikap-sikap intoleransi dan permusuhan, khususnya yang terjadi antar penganut agama, justru kebanyakan muncul dari kalangan elit atau tokoh masyarakat, dan jarang sekali yang muncul murni dari bawah. Berbagai kasus konflik antar agama yang terjadi, justru tak semuanya murni karena dorongan semangat permusuhan yang muncul untuk membela agama masing-masing. Dimensi-dimensi sosiologi dan antropologi yang mengitari masyarakat konflik tersebut harus mendapatkan perhatian dari kita. Sebab, kita akan terjebak untuk kesekian kalinya dengan berbagai kekhilafan-kekhilafan yang tak seharusnya terjadi, seperti sikap curiga dan sebagainya, yang diakibatkan oleh konflik-konflik tersebut. Padahal, sikap curiga mencurigai itu sendiri bukanlah sikap yang akan mampu menyelesaikan permasalahan kerukunan antar umat, melainkan justru akan menambah daftar konflik horisontal. Di sini pula letak kekurangan kalangan yang sering menyuarakan sikap-sikap toleransi agama. Suara-suara dan pemikiran itu, dalam pandangan penulis, bukan tidak tepat. Ia kurang bisa masuk dan meresap dalam masyarakat yang terlibat konflik karena kebutuhan murni masyarakat tersebut bukanlah konsep-konsep perdamaian dan hidup rukun, akan tetapi keadilan ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya. Belum lagi jika terbukti bahwa ketegangan antar umat beragama, khususnya dalam konteks masyarakat Indonesia, lebih dikarenakan permainan politik elit-elit yang berkuasa. Jika yang terakhir ini benar, atau mendekati kebenaran, maka problem kemasyarakatan kita bermuara kepada problem politik. Penulis bahkan meyakini bahwa masyarakat yang terlibat perang agama, baik di Indonesia atau di manapun, sejatinya juga menyadari akan prinsip-prinsip toleransi yang dikandung oleh agamanya masing-masing. Akan tetapi, mereka sedang disuguhi sajian-sajian yang menyeret mereka untuk meninggalkan kesadaran-kesadaran yang sebenarnya sangat kuat dalam dogma agama mereka masing-masing.

Prinsip Toleransi Dalam Perspektif Islam Ketika kita sudah meyakini bahwa hidayah atau petunjuk adalah hak mutlak Tuhan SWT, maka dengan sendiri kita tidak sah untuk memaksakan kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita. Namun demikian, kita tetap diwajibkan untuk berdakwah, dan itu berada pada garis-garis yang diperintahkan oleh Tuhan SWT. Prinsip toleransi antar umat beragama dalam perspektif Islam adalah "Lakum Dأ®nu-kum Wa Liya Dأ®nأ®", untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Prinsip tersebut adalah penggalan dari surat Al-Kأ¢firأ»n, di mana surat tersebut turun karena ajakan orang-orang Mekkah yang ingkar kepada kenabian Muhammad SAW untuk beribadah secara bergantian : orang-orang Mekkah bersama Nabi SAW beribadah secara agamanya, dan mereka bersedia untuk beribadah bersama Nabi SAW secara Islam. Atas dasar usulan ini, Nabi SAW mendapatkan konsepsi dari Tuhan SWT bahwa agama mereka adalah agama mereka, dan Islam adalah Islam. Keduanya tak bisa dicampur-adukkan, tetapi tak harus menimbulkan pertikaian, karena urusan kebenaran dan petunjuk hanya kekuasaan-Nya. Ini adalah prinsip yang didasarkan kepada pengakuan keberagamaan kita sekaligus penghormatan kepada keberagamaan selain kita. Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung kebenaran agama kita dan agama selain kita, juga bukan sebaliknya, membenarkan agama kita sambil menyalahkan kepada agama lain. Dalam masa kehidupan di dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Menghilangkan kediktatoran, penindasan terhadap manusia, menolong kaum miskin dan sebagainya. Di sinilah letak ungkapan atau pemikiran yang mengatakan bahwa semua agama itu sama dan –secara hakekat— menyembah Tuhan yang sama. Seluruh agama mengajak kepada kebaikan di dunia, bersikap adil, berkasih sayang serta membantu yang memerlukan dan sebagainya, dan itulah nilai universal yang ada pada setiap agama. Di sini, setiap agama mengalami kesamaan. Sedangkan untuk urusan akhirat, baik itu meliputi keadilan, kebahagiaan, pahala serta ganjaran atau sorga dan neraka, seperti halnya hidayah atau petunjuk, maka itu adalah mutlak urusan Tuhan SWT. Dikisahkan, suatu ketika sahabat Salman Al-Fأ¢risأ® bercerita di hadapan Nabi SAW, dan juga para sahabat, tentang cara-cara ibadah masyarakat di kampung halamannya , orang Majusi, kaum penyembah api yang hidup di kawasan Iran. Setelah Al-Fأ¢risأ® selesai bercerita, Nabi SAW berkomentar, "Mereka masuk neraka". Atas komentar ini, turunlah ayat yang berbunyi, "Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shأ¢bi-أ®n, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu" (QS. 22:17). Juga turun ayat berikut : "Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi'أ®n, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (QS. 2:62) Pada ayat tersebut telah dijelaskan, bahwasanya siapapun dan agama apapun, maka keputusan akhir pada Hari Kiamat ada pada Tuhan SWT. Baik itu orang Islam, Yahudi, Kristen bahkan Majusi dan Shabi'in. Kaum Majusi adalah penyembah api, sedangkan kaum Shabi’in adalah kaum yang berkeyakinan bahwa dunia ini ada Sang Pencipta Yang Maha Esa, namun mereka mengakui bahwa akal manusia tak mampu untuk mengenal atau memasuki wilayah sang pencipta ini, sehingga mereka mewakilkan komunikasinya dengan Tuhan melalui roh-roh suci. Roh-roh suci itu, masih dalam keyakinannya, bertempat di bintang, bulan dan lain sebagainya. Komunikasi itulah yang mereka lakukan, dan bukan menyembang bintang, bulan, malaikat dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip toleransi agama ini, yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah, telah dimiliki Islam, maka sudah selayaknya jika umat Islam turut serta aktif untuk memperjuangkan visi-visi toleransinya di khalayak masyarakat plural. Walaupun Islam telah memiliki konsep pluralisme dan kesamaan agama, maka hal itu tak berarti para muballigh atau pendeta dan sebagainya  berhenti untuk mendakwahkan agamanya masing-masing. Itu sudah menjadi kewajiban setiap pemimpin agama selama hal itu dilakukan dengan cara-cara yang bijak. Al-Qur'an berpesan, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. 16:125)

Bid'ah jangan sembarang kau Tuduhkan

Salah satu isu besar yang mengancam persatuan umat Islam adalah isu bid'ah. Akhir-akhir ini, kata itu makin sering kita dengar, makin sering kita ucapkan dan makin sering pula kita gunakan untuk memberi label kepada saudara-saudara kita seiman. Bukan labelnya yang dimasalahkan, tapi implikasi dari label tersebut yang patut kita cermati, yaitu anggapan sebagian kita bahwa mereka yang melakukan bid'ah adalah aliran sesat. Karena itu aliran sesat, maka harus dicari jalan untuk memberantasnya atau bahkan menyingkirkannya. Kita merasa sedih sekarang ini, makin banyak umat Islam yang menganggap saudaranya sesat karena isu bid'ah dan sebaliknya kita makin prihatin sering mendengar umat Islam yang mengeluh atau menyatakan sakit hati dan bahkan marah-marah karena dirinya dianggap sesat oleh saudaranya seiman. 
Yang paling mudah kita baca dari kasus tersebut adalah adanya trend makin maraknya umat Islam saling bermusuhan dan saling mencurigai sesama mereka dengan menggunakan isu bid'ah. Mari kita renungkan, apakah kondisi seperti itu harus terjadi terus menerus di kalangan umat Islam? Di beberapa negara Muslim, seperti di Pakistan, isu itu telah menyulut perang saudara berdarah antar umat Islam hingga saat ini. Sudah tak terhitung nyawa yang melayang karena pertikian seperti itu.
Mari kita simak sejenak fatwa Syeh Azhar Atiyah Muhammad Saqr yang dikeluarkan pada tahun 1997. Bahwa  sebenarnya isu bid'ah yang berkembang di masyarakat Muslim saat ini disebabkan oleh perbedaan memaknai bi'dah apakah secara etimologis (bahasa) atau terminologis (istilah). Syeh Atiyah menjelaskan lebih jauh:
Dalam kitab "Al-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Athar" karangan Ibnu Atsir dalam pembahasan "ba da 'a" (asal derivatif kata bid'ah) dan dalam pembahasan hadist Umar r.a. masalah menghidupkan malam Ramadhan  ": نعمت البدعة هذه" Inilah sebaik-baik bid'ah", dikatakan bahwa bid'ah terbagi menjadi dua, ada 1) bid'ah huda (bid'ah benar sesuai petunjuk) dan ada 2) bid'ah sesat. Bid'ah yang betentangan dengan perintah Allah dan Rasulnya s.a.w. maka itulah bid'ah yang dilarang dan sesat. Dan bid'ah yang masuk dalam generalitas perintah Allah dan Rasulnya s.a.w. maka itu termasuk bid'ah yang terpuji dan sesuai petunjuk agama. Apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. tapi sesuai dengan perintah agama, termasuk pekerjaan yang terpuji secara agama seperti bentuk-bentuk santunan sosial yang baru. Ini juga bid'ah namun masuk dalam ketentuan hadist Nabi s.a.w.  diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah oleh Imam Muslim:
‏من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شيء
"Barang siapa merintis dalam Islam pekerjaaan yang baik kemudian dilakukan oleh generasi setelahnya, maka ia mendapatkan sama dengan orang melakukannya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa merintis dalam Islam pekerjaan yang tercela, kemudian dilakukan oleh generasi setelahnya, maka ia mendapatkan dosa orang yang melakukannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun" (H.R. Muslim).

Stateman Umar bin Khattab r.a. "Inilah bid'ah terbaik" masuk kategori bid'ah yang terpuji. Umar melihat bahwa sholat tarawih di masjid merupakan bid'ah yang baik, karena Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukannya, tapi Rasulullah s.a.w. melakukan sholat berjamaah di malam hari Ramadhan beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak melakukannya secara kontinyu, apalagi memerintahkan umat islam untuk berjamaah di masjid seperti sekarang ini. Demikian juga pada zaman Abu Bakar r.a. sholat Tarawih belum dilaksanakan secara berjamaah. Umar r.a. lah yang memulai menganjurkan umat Islam sholat tarawih berjamaah di masjid.
Para ulama melihat bahwa melestarikan tindakan Umar tesebut, termasuk sunnah karena Rasulullah s.a.w. pernah bersabda "Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaurrashiidn setelahku" (H.R. Ibnu Majah dll.) Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda: "Ikutilah dua orang setelahku, yaitu ABu Bakar dan Umar". (H.R. Tirmidzi dll).
Dengan pengertian seperti itu, maka menafsirkan hadist Rasulullah s.a.w. "كل محدثة بدعة" yang artinya "setiap baru diciptakan dalam agama adalah bid'ah" harus dengan ketentuan bahwa hal baru tersebut memang bertentangan dengan aturan dasar syariat dan tidak sesuai dengan ajaran hadist.
Mengkaji masalah bid'ah memerlukan pendefinisian yang berkembang dan muncul di seputar penggunaan kata bid'ah tersebut. Perbedaan definisi bisa berpengaruh pada perbedaan hukum yang diterapkan. Tanpa mendefinisikan bid'ah secara benar maka kita hanya akan terjerumus pada perbedaan hukum, perbedaan pendapat dan bahkan pertikaian. Demikian juga mendefinisikan bid'ah yang sesat dan masuk neraka, tidaklah mudah.
Dari beberapa literatur Islam yang ada, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Para ulama dalam mendefinisikan bid'ah, terdapat dua pendekatan yaitu kelompok pertama menggunakan pendekatan etimologis (bahasa) dan kelompok kedua menggunakan pendekatan terminologis (istilah).
Golongan pertama mencoba mendefinisikan bid'ah dengan mengambil akar derivatif kata bid'ah yang artinya penciptaan atau inovasi yang sebelumnya belum pernah ada. Maka semua penciptaan dan inovasi dalam agama yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah s.a.w. disebut bid'ah, tanpa membedakan antara yang baik dan buruk dan tanpa membedakan antara ibadah dan lainnya. Argumentasi untuk mengatakan demikian karena banyak sekali ditemukan penggunakan kata bid'ah untuk baik dan kadang kala juga digunakan untuk hal tercela.
Imam Syafi'i r.a. berkata: "Inovasi dalam agama ada dua. Pertama yang bertentangan dengan kitab, hadist dan ijma', inilah yang sesat. Kedua inovasi dalam agama yang baik, inilah yang tidak tercela."
Ulama yang menganut metode pendefinisan bid'ah dengan pendekatan etimologis antara lain Izzuddin bin Abdussalam, beliau membuat kategori bid'ah ada yang wajib seperti melakukan inovasi pada ilmu-ilmu bahasa Arab dan metode pengajarannya, kemudian ada yang sunnah seperti mendirikan madrasah-madrasah Islam, ada yang diharamkan seperti merubah lafadz al-Quran sehingga keluar dari bahasa Arab, ada yang makruh seperti mewarna-warni masjid dan ada yang halal seperti merekayasa makanan.
Golongan kedua mendefinisikan bid'ah adalah semua kegiatan baru di dalam agama, yang diyakini itu bagian dari agama padahal sama sekali bukan dari agama. Atau semua kegiatan agama yang diciptakan berdampingan dengan ajaran agama, dan disertai keyakinan bahwa melaksakan kegiatan tersebut merupakan bagian dari agama. Kegiatan tersebut emncakup bidang agama dan lainnya. Sebagian ulama dari golongan ini mengatakan bahwa bid'ah hanya berlaku di bidang ibadah. Dengan definisi seperti ini, semua bid'ah dalam agama dianggap sesat dan tidak perlu lagi dikategorikan dengan wajib, sunnah, makruh dan mubah. Golongan ini mengimplementasikan hadist "كل بدعة ضلالة"  yang artinya "setiap bid'ah adalah sesat", terhadap semua bid'ah yang ada sesuai defisi tersebut. Demikian juga statemen imam Malik: "Barang siapa melakukan inovasi dalam agama Islam dengan sebuah amalan baru dan menganggapnya itu baik, maka sesungguhnya ia telah menuduh Muhammad s.a.w. menyembunyikan risalah, karena Allah s.w.t. telah menegaskan dalam surah al-Maidah:3 yang artinya " Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu", adalah dalam konteks definisi bid'ah di atas. Adapun pernyataan Umar r.a. dalam masalah sholat Tarawih bahwa "itu sebaik-baik bid'ah" adalah bid'ah dalam arti bahasa (etimologis).
Lepas dari kajian bid'ah di atas, sesungguhnya tema bid'ah merupakan tema yang cukup rumit dan panjang dalam sejarah pemikiran Islam. Pelabelan ahli bid'ah terhadap kelompok Islam tertentu mulai marak dan muncul, pada saat munculnya polemik dan konflik pemikiran dalam dunia Islam. Merespon polemik pemikiran Islam tersebut, Abu Hasan Al-Asy'ari (meninggal tahun 304 H) menulis buku "Alluma' fi al-radd 'ala Ahlil Zaighi wal Bida'" (Catatan Singkat untuk menentang para pengikut aliran sesat dan bid'ah). Setelah itu muncullah kajian-kajian yang makin marak dan gencar dalam mengulas masalah bid'ah.
Imam Ghozali dalam Ihya' Ulumuddin (1/248) menegaskan:"Betapa banyak inovasi dalam agama yang baik, sebagaimana dikatakan oleh banyak orang, seperti sholat Tarawih berjamaah, itu termasuk inovasi agama yang dilakukan oleh Umar r.a.. Adapun bid'ah yang sesat adalah bid'ah yang bertentangan dengan sunnah atau yang mengantarkan kepada merubah ajaran agama. Bid'ah yang tercela adalah yang terjadi pada ajaran agama, adapun urusan dunia dan kehidupan maka manusia lebih tahu urusannya, meskipun diakui betapa sulitnya membedakan antara urusan agama dan urusan dunia, karena Islam adalah sistem yang komprehensif dan menyeluruh. Ini yang menyebabkan sebagian ulama mengatakan bahwa bid'ah itu hanya terjadi dalam masalah ibadah, dan sebagian ulama yang lain mengatakan bid'ah terjadi di semua sendi kehidupan.
Akhirnya juga bisa disimpulkan bahwa bid'ah terjad dalam masalah aqidah, ibadah, mu'amalah (perniagaan) dan bahkan akhlaq. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa semua tingkah laku dan pekerjaan Rasulullah s.a.w. adalah suri tauladan bagi umatnya. Apakah semua pekerjaan Rasulullah s.a.w. dan tingkah lakunya wajib diikuti 100 persen, ataukah sebagian itu sunnah untuk diikuti dan sebagian bolah tidak diikuti? Apakah meninggalkan sebagian pekerjaan yang pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. (yang bukan termasuk ibadah) dosa atau tidak? Contohnya seperti adzan dua kali waktu sholat Jum'at, menambah tangga mimbar sebanyak tiga tingkat, melakukan sholat dua rakaat sebelum Jum'at, membaca al-Quran dengan suara keras atau memutas kaset Qur'an sebelum sholat Jum'at, muadzin membaca sholawat dengan suara keras setelah adzan, bersalaman setelah sholat, membaca "sayyidina" pada saat tahiyat, mencukur jenggot. Sebagian ulama menganggap itu semua bid'ah karena tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah dan sebagian lain menganggap itu merupakan inovasi beragama yang diperbolehkan dan baik, dan tidak betentangan dengan ketentuan umum agama Islam. Demikian juga masalah peringatan maulid nabi dan peringatan Islam lainnya, seperti Nuzulul Qur'an, Isra' Mi'raj, Tahun Baru Hijriyah, sebagian ulama melihat itu bid'ah dan sebagian lainnya menganggap itu bukan bid'ah sejauh diisi dengan kegiatan-kegiatan agama yang baik.  Perbedaan para ulama di seputar masalah tersebut terkembali pada perbedaan mereka dalam mengartikan bid'ah itu sendiri, seperti dijelaskan di atas.
Yang perlu kita garis bawahi lagi, bahwa ajaran agama kita dalam merubah kemungkaran yang disepakati bahwa itu kemungkaran adalah dengan cara yang ramah dan nasehat yang baik. Tentu merubah kemungkaran yang masih dipertentangkan kemungkarannya juga harus lebih hati-hati dan bijaksana. Permasalahan yang masih menjadi khilafiyah (terjadi perbedaan pendapat) di antara para ulama, tidak seharusnya disikapi dengan bermusuhan dan percekcokan, apalagi saling menyalahkan dan menganggap sesat. Mereka yang menganggap dirinya paling benar dan menganggap akidahnya yang paling selamat, dan lainnya adalah sesat dan rusak, hendaklah ia berhati-hati karena jangan-jangan dirinya telah terancam kerusakan dan telah dihinggapi oleh teologi permusuhan.

Wallahu  a'lam bissowab

Tentang Tarekat dan Tasawuf

Tasawuf, aliran ini telah menjadi realitas keagamaan Islam. Rentang sejarah Islam, telah banyak menampilkan episode-episode yang diperankan oleh komunitas penganut aliaran ini yang sering di sebut "sufi". Berbagai aliran tasawuf telah dikenal oleh peradaban Islam, mulai dari yang paling ortodok, sampai yang paling moderat. Klaim kebenaran atau klaim kesesatan, khususnya yang sering muncul antara ulama salafiyah dan kelompok lainnya dalam masalah ini, tentu tidak bisa kita bela atau kita tentang begitu saja. Banyak ditemukan dalam literatur-literatur tasawuf yang memuat ungkapan-ungkapan atau pemaparan yang mencerminkan, dalam batas tertentu, kesesatan tasawuf, dari segi aqidah. Misalnya ajaran "fana'" yang menggambarkan tingkat terjadinya inklusifitas Allah dan hambanya, yaitu keyakinan bersatunya Allah dengan hamba. Ajaran semacam ini muncul dari aliran tasawuf ortodok. Namun tentunya kita juga kurang bijaksana kalau, hanya karena kesalahan sebagian kelompok tasawuf, lalu kita lupakan jasa-jasa besar mereka dalam mempertahankan Islam dan menyebarkannya bahkan hingga ke tanah air kita Indonesia. Lebih daripada itu, di sana juga terdapat beberapa aliran tasawuf moderat yang justru mencerminkan semangat keislaman yang origin. Banyak hikmah dari peri hidup ulama sufi yang patut kita jadikan tauladan di masa sekarang ini. Seandainya dalam ajaran tasawuf, seperti layaknya aliran-aliran Islam lainnya, terdapat hal-hal yang kiranya keluar dari mainstream syari'ah, maka di situlah perlunya pemahaman dan kajian lebih mendalam, dengan tanpa mengesampingkan aspek-aspek positif yang ada dalam aliran ini.

Adapun tarekat yang ada dalam ajaran tasawuf, tidak lain adalah cara yang digunakan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Cara-cara tersebut tidak lebih dari kombinasi berbagai amalan fardhu dan sunnah yang biasa dilakukan oleh ulama-ulama sufi dalam bermunajat kepada Allah. Dengan demikian sebenarnya semua ritual dalam tarekat mempunyai akar dan landasan dalam ibadah. Hanya masalah kombinasi dan komposisinya yang sering dijadikan alasan oleh kelompok keras untuk menuduhnya bid'ah.

Masalah bid'ah memang masalah dilematis yang dihadapi Islam. Di sini bid'ah hendaknya tidak difahami dalam sekup ritual (ibadah) saja, karena cakupan bid'ah sebenarnya sangat luas, mencakup bidang politik, ekonomi, sosial, kultur, peradaban dan ilmu pengetahuan. Di satu pihak, bid'ah telah mencabik-cabik dan menggerogoti spirit Islam, sehingga dalam banyak hal, agama kita semakin jauh dari spirit aslinya. Di lain pihak, bid'ah telah menjadikan marak dan cantiknya agama kita dan bahkan dalam banyak kasus bid'ah (baca kreatifitas) ini menjadikan Islam mampu menembus rentang waktu dengan fleksibel dan diterima masyarakat. Maka bid'ah oleh sebagian pendapat dibagi menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah dhalalah (sesat). Namun pendapat yang lebih keras tidak mengakui pembagian tersebut dan menyatakan bahwa semua bid'ah sesat.

Kronisnya pembagian dan kriteria bid'ah semacam ini sering dijadikan senjata oleh sebagian kelompok Islam untuk menuduh sesat atau bahkan mengkafirkan kelompok lainnya yang tidak sepaham. Konflik dan pertentangan antar sekte yang saling membidik lawannya dengan senjata bid'ah ini telah begitu banyak membuang potensi dan energi dan bahkan sepirit Islam itu sendiri. Masalah-masalah besar yang mesti diprioritaskan dihadapi dan ditangani umat Islam terbengkelai karena mereka sibuk menghakimi kesesatan dan kekafiran saudaranya seiman.

Dalam menetralisir fenomena perbedaan atau ikhtilaf antar kelompok-kelompok Islam, yang sangat diperlukan adalah sosialisasi "fiqhul ikhtilaf" (fiqih perbedaan). Fiqih perbedaan ini merupakan etika, wawasan, dan solusi untuk menetralisir ketegangan antar kelompok Islam yang mengancam persatuan dan kesatuan umat Islam. Fiqih ini mempunyai bahasan yang cukup luas, namun di sini saya kemukakan beberapa etika ber-ikhtilaf, antara lain:
  1. Memulai dengan "husnuzzan" (prasangka baik) terhadap sesama muslim.
  2. Menghargai pendapat orang lain sejauh pendapat tersebut mempunyai dalil.
  3. Tidak memaksakan kehendak bahwa pendapatnyalah yang paling benar, karena pendapat lain juga mempunyai kemungkinan benar yang seimbang.
  4. Mengakui adanya perbedaan dalam masalah furu'iyah (cabang-cabang ajaran) dan tidak membesar-besarkannya.
  5. Tidak mengkafirkan orang yang telah mengucapkan "Laailaaha illallah".
  6. Mengkaji perbedaan secara ilmiyah dengan mengupas dalil-dalilnya.
  7. Tidak beranggapan bahwa kebenaran hanya satu dalam masalah-masalah furu'iyah (cabang-cabang ajaran), karena ragamnya dalil, di samping kemampuan akal yang berbeda-beda dalam menafsiri dalil-dalil tsb.
  8. Terbuka dalam menyikapi perbedaan, dengan melihat perbedaan sebagai hal yang positif dalam agama karena memperkaya khazanah dan fleksibillitas agama. Tidak cenderung menyalahkan dan menuduh sesat ajaran yang tidak kita kenal. Justru karena belum kenal, sebaiknya kita pelajari dulu latar belakang dan inti ajarannya.

Futuuhul Ghoib ( Penyingkap Keghoiban ) lanjutan

Risalah 7 :
Keluarlah dari kedirian, jauhilah dia, dan pasarahkanlah segala sesuatu kepada Allah, jadilah penjaga pintu hatimu, patuhilah senantiasa perintah-perintah-Nya, hormatilah larangan-larangan-Nya, dengan menjauhkan segala yang diharamkan-Nya. Jangan biarkan kedirianmu masuk ke dalam hatimu, setelah keterbuanganmu. Mengusir kedirian dari hati, haruslah disertai pertahanan terhadapnya, dan menolak pematuhan kepadanya dalam segala keadaan. Ia bertutur: Keluarlah dari kedirian, jauhilah dia, dan pasarahkanlah segala sesuatu kepada Allah, jadilah penjaga pintu hatimu, patuhilah senantiasa perintah-perintah-Nya, hormatilah larangan-larangan-Nya, dengan menjauhkan segala yang diharamkan-Nya. Jangan biarkan kedirianmu masuk ke dalam hatimu, setelah keterbuanganmu. Mengusir kedirian dari hati, haruslah disertai pertahanan terhadapnya, dan menolak pematuhan kepadanya dalam segala keadaan. Mengizinkan ia masuk ke dalam hati, berarti rela mengabdi kepadanya, dan berintim dengannya. Maka, jangan menghendaki segala yang bukan kehendak Allah. Segala kehendak yang bukan kehendak Allah, adalah kedirian, yang adalah rimba kejahilan, dan hal itu membinasakanmu, dan penyebab keterasingan dari-Nya. Karena itu, jagalah perintah Allah, jauhilah larangan-Nya, berpasrahlah selalu kepada-Nya dalam segala yang telah ditetapkan-Nya, dan jangan sekutukan Dia dengan sesuatu pun. Jangan berkehendak diri, agar tak tergolong orang-orang musyrik. Allah berfirman: "Barang siapa mengharap penjumpaan (liqa) dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal saleh dan tidak menyekutukanNya." (QS 18.Al Kahfi: 110) Kesyirikan tak hanya penyembahan berhala. Pemanjaan nafsu jasmani, dan menyamakan segala yang ada di dunia dan akhirat dengan Allah, juga syirik. Sebab selain Allah adalah bukan Tuhan. Bila kau tenggelamkan dalam sesuatu selain Allah berarti kau menyekutukan-Nya. Oleh sebab itu, waspadalah, jangan terlena. Maka dengan menyendiri, akan diperoleh keamanan. Jangan menganggap dan mengklaim segala kemaujudan atau maqam-mu, berkat kau sendiri. Maka, bila kau berkedudukan, atau dalam keadaan tertentu, jangan membicarakan hal itu kepada orang lain. Sebab dalam perubahan nasib yang terjadi dari hari ke hari, keagungan Allah mewujud, dan Allah mengantarai hamba-hambaNya dan hati-hati mereka. Bisa-bisa yang kau percakapkan, sirna darimu, dan yang kau anggap abadi, berubah, hingga kau termalukan di hadapan yang kau ajak bicara. Simpanlah pengetahuan ini dalam lubuk hatimu, dan jangan perbincangkakn dengan orang lain. Maka jika hal itu terus maujud, maka hal itu akan membawa kemajuan dalam pengetahuan, nur, kesadaran dan pandangan. Allah berfirman: "Segala yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan terlupakan, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya, atau yang sepertinya. Tidakkah kamu ketahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS 2.Al Baqarah: 106) Jangan menganggap Allah tak berdaya dalam sesuatu hal, jangan menganggap ketetan-Nya tak sempurna, dan jangan sedikit pun ragu akan janji-Nya. Dalam hal ini ada sebuah contoh luhur dalam Nabi Allah. Ayat-ayat dan surah-surah yang diturunkan kepadanya, dan yang dipraktekkan, dikumandangkan di masjid-masjid, dan termaktub di dalam kitab-kitab. Mengenai hikmah dan keadaan ruhani yang dimilikinya, ia sering mengatakan bahwa hatinya sering tertutup awan, dan ia berlindung kepada Allah tujuh puluh kali sehari. Diriwayatkan pula, bahwa dalam sehari ia dibawa dari satu hal ke hal lain sebanyak seratus kali, sampai ia berada pada maqam tertinggi dalam kedekatan dengan Allah. Ia diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah, karena sebaik-baik seorang hamba yaitu berlindung dan berpaling kepada Allah. Karena, dengan begini, ada pengakuan akan dosa dan kesalahannya, dan inilah dua macam mutu yang terdapat pada seorang hamba, dalam segala keadaan kehidupan, dan yang dimilikinya sebagai pusaka dari Adam as., 'bapak' manusia, dan pilihan Allah. Berkatalah Adam a.s.: "Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tak mengampuni kami, dan merahmati kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi." (QS. 7.Al-A'raaf: 23). Maka turunlah kepadanya cahaya petunjuk dan pengetahuan tentang taubat, akibat dan tentang hikmah di balik peristiwa ini, yang takkan terungkap tanpa ini; lalu Allah berpaling kepada mereka dengan penuh kasih sayang, sehingga mereka bisa bertaubat. Dan Allah mengembalikannya ke hal semua, dan beradalah ia pada peringkat wilayat yang lebih tinggi, dan ia dikaruniai maqam di dunia dan akhirat. Maka menjadilah dunia ini tempat kehidupannya dan keturunannya, sedang akhirat sebagai tempat kembali dan tempat peristirahatan abadi mereka. Maka, ikutilah Nabi Muhammad Saw., kekasih dan pilihan Allah, dan nenek moyangnya, Adam, pilihan-Nya - keduanya adalah kekasih Allah - dalam hal mengakui kesalahan dan berlindung kepada-Nya dari dosa-dosa, dan dalam hal bertawadhu' dalam segala keadaan kehidupan.
Risalah 8 :
Ia bertutur: Bila kau berada dalam hal tertentu, jangan mengharapkan hal yang lain, baik yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Jadi bila kau berada di pintu gerbang istana Raja, jangan berkeinginan untuk masuk ke istana itu, kecuali terpaksa. Yang dimaksud dengan terpaksa ialah diperintah terus-menerus. Ia bertutur: Bila kau berada dalam hal tertentu, jangan mengharapkan hal yang lain, baik yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Jadi bila kau berada di pintu gerbang istana Raja, jangan berkeinginan untuk masuk ke istana itu, kecuali terpaksa. Yang dimaksud dengan terpaksa ialah diperintah terus-menerus. Dan jangan menganggapnya sebagai izin masuk, karena mungkin saja Raja menjebakmu. Tapi, bersabarlah, sampai kau benar-benar dipaksa memasukinya oleh sang Raja. Dengan demikian, sang Raja takkan menghukummu, karena Dia sendiri menghendakinya. Jika kau toh dihukum, tentu disebabkan oleh keburukan kehendak, kerakusan, ketaksabaran, kekurangajaran, dan keinginanmu untuk berpuas dengan keadaan kehidupanmu. Bila kau harus masuk ke dalamnya karena terpaksa, masuklah dengan penuh ketenangan dan ketundukan pandangan, bersikaplah yang layak dan indahkanlah semua perintah-Nya dengan sepenuh jiwa tanpa mengharapkan kemajuan dalam tingkat kehidupan. Allah berfirman kepada Rasul pilihan-Nya : "Dan janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka sebagai hiasan hidup, untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu lebih baik dan abadi." (QS 20. Thaahaa: 131) Dengan firman-Nya: "Dan karunia Tuhanmu lebih baik dan abadi". Allah memperingatkan Nabi pilihan-Nya, agar menghargai hal yang ada, dan mensyukuri karunia-karunia-Nya. Dengan kata lain, perintah ini adalah sebagai berikut: "Segala yang telah Aku karuniakan kepadamu - kebaikan, kenabian, ilmu, keridhaan, kesabaran, kerajaan agama, dan jihad di jalanKu - lebih baik dan lebih berharga ketimbang semua yang Kuberikan kepada yang lain." Jadi, segala kebaikan terletak pada menghargai dan mensyukuri keadaan yang ada, dan menghindarkan selainnya, karena hal semacam itu merupakan cobaan dari-Nya. Jadi bila sesuatu telah ditentukan-Nya bagimu, tentu sesuatu itu akan datang kepadamu, suka atau tidak suka. Karenanya, sungguh tak patut, bila kekuranglayakan dan kerakusan terwujud padamu, kedua-duanya tertolak oleh akal dan ilmu. Dan jika sesuatu itu ditakdirkan-Nya bagi orang lain, mengapa kau bersusah payah meraih sesuatu yang tak bisa kau raih? Dan jika sesuatu tak diturunkan-Nya kepada siapapun, hanya sebagai cobaan, mana mungkin seorang arif menyukainya dan berupaya keras meraih itu? Terbuktilah, bahwa seluruh kebaikan dan keselamatan terletak pada menghargai keadaan yang ada. Maka, bila kau dinaikkan ke tingkat atas, sampai ke atap istana, maka kau sebagaimana telah kami nyatakan, mesti sadar diri, tenang, dan baik-laku. Kau mesti berbuat lebih dari ini, sebab kau kini lebih dekat kepada sang Raja, dan lebih dekat kepada marabahaya. Maka, jangan menginginkan perubahan keadaan yang ada padamu. Nah, kau tak punya pilihan dalam masalah ini, sebab hal itu mendorong ketakbersyukuran atas rahmat-rahmat yang ada, dan cita semacam ini menjadikan terhina, baik di dunia maupun di akhirat. Maka berlakulah sebagamana yang telah kami nasihatkan kepadamu, sampai kau dikarunia oleh Allah maqam yang teguh, dan takkan tergoyahkan dengan segala tanda dan isyaratnya. Karena itu, tambatkanlah padanya dan jangan biarkan dirimu lepas darinya. (Keadaan perubahan ruhani) adalah milik para wali, sedang maqam (peringkat ruhani) adalah milik para badal.
Risalah 9 :
Diriwayatkan, bahwa Nabi saw. Sering berkata kepada Hadhrat Bilal sang muadzin: "Wahai Bilal, gembirakanlah hati kami," Maksud beliau, hendaklah ia serukan azan agar beliau bisa shalat, guna merasakan perwujudan-perwujudan rahmat Ilahi, sebagaimana telah kita bicarakan. Itulah sebabnya Nabi saw bersabda: "Dan mataku sejuk, bila aku shalat." Ia bertutur: KehendakNya terwujud, secara kasyf (penglihatan ruhani) dan musyahida (pengalaman-pengalama ruhani), pada para wali dan badal, yang tak terjangkau nalar manusia dan kebiasaan. Perwujudan ini terbentuk: jalal (keagungan), dan jamal (keindahan). Jalal menghasilkan kegelisahan, pemahaman yang menggundahkan, dan sedemikian menguasai hati, sehingga gejala-gejalanya tampak pada jasmani. Diriwayatkan bila Rasulullah shalat, dari hatinya terdengar gemuruh, bak air mendidih di dalam ketel, karena intensitas ketakutan yang timbul dari penglihatan beliau akan Kekuasaan dan KebesaranNya. Diriwayatkan bahwa pilihan Allah, Nabi Ibrahim as dan Umar sang Khalifah ra, juga mengalami keadaan yang serupa. Mengalami perwujudan keindahan Ilahi merupakan refleksiNya pada hati manusia yang mewujudkan nur, keagungan, kata-kata manis, ucapan penuh kasih-sayang, dan kegembiraan atas kelimpahan keruniaNya, maqam yang tinggi, dan keakraban denganNya -- yang kepadaNya segala urusan mereka kembali -- dan atas takdir yang telah ditetapkanNya jauh di masa lampau. Inilah karunia dan rahmatNya, dan pengukuhan atas mereka di dunia ini, sampai waktu tertentu. Ini dilakukan agar mereka tak melampaui kadar cinta yang layak dalam keinginan mereka akan hal itu, dan karenanya, hati mereka takkan berputus asa, kendati mereka jumpai berbagai hambatan atau bahkan terkulaikan oleh hebatnya ibadah mereka sampai datangnya kematian. Ia melakukan ini berdasarkan kelembutan, kasih sayang dan kehormatan, juga untuk melatih agar hati mereka lembut, karena Dia bijaksana, mengetahui, lembut terhadap mereka. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw. Sering berkata kepada Hadhrat Bilal sang muadzin: "Wahai Bilal, gembirakanlah hati kami," Maksud beliau, hendaklah ia serukan azan agar beliau bisa shalat, guna merasakan perwujudan-perwujudan rahmat Ilahi, sebagaimana telah kita bicarakan. Itulah sebabnya Nabi saw bersabda: "Dan mataku sejuk, bila aku shalat."
Risalah 10 :
Ia bertutur:
Sungguh tiada sesuatu, kecuali Allah, sedang dirimu adalah tandanya. Kedirian manusia bertentangan dengan Allah. Segala suatu patuh kepada Allah dan milik Allah, demikian pula dengan kedirian manusia, sebagai makhluk sekaligus milikNya. Kedirian manusia itu pongah, darinya tumbuh dambaan-dambaan palsu.
Nah, jika kau menyatu dengan kebenaran, dengan menundukkan dirimu sendiri, maka kau menjadi milik Allah dan menjadi musuh dirimu sendiri. Allah telah bersabda kepada Nabi Daud as: "Wahai Daud, Akulah tujuan hidupmu, yang tak mungkin kau elakkan. Karenanya berpegangteguhlah kepada tujuan yang satu ini; beribadahlah sebenar-benarnya, sampai kau menjadi lawan keakuanmu, semata-mata karena Aku." Maka keakrabanmu dengan Allah dan pengabdianmu kepadaNya menjadi kenyataan. Lalu kau peroleh bagianmu nan suci sungguh menyenangkan. Dengan demikian kau dicintai dan terhormat, dan segala sesuatu mengabdi dan takut kepadamu, karena semua tunduk kepada Tuhan mereka, dan selaras denganNya, karena Dia adalah Pencipta mereka, dan mereka mengabdi kepadaNya.

Firman Allah: "Dan tak ada sesuatu pun melainkan bartasbih memujiNya, tetapi kamu tak mengerti tasbih mereka." (QS 17:44). Maka segala sesuatu di alam raya ini menyadari keridhaanNya, dan menaati perintah-perintahNya. Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung berfirman: "Lalu Ia berkata kepadanya dan kepada bumi, 'Hendaklah kamu berdua datang dengan suka ataupun terpaksa', Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan suka hati.'" (QS 41:11). Jadi, segala pengabdian kepadaNya terletak pada penentangan terhadap kedirian. Allah berfirman: "Dan janganlah engkau turuti hawa nafsumu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (QS 38:26). Ia juga berfirman: "Hindarilah hawa nafsumu, karena sesungguhnya tak ada sesuatu pun yang menentangKu di seluruh kerajaanKu, kecuali nafsu jasmani manusia." Suatu ketika Abu Yazid Bustami bermimpi bertemu Allah, dan bertanya kepadaNya: "Bagaimana cara menjumpaiMu ?" JawabNya: "Buanglah keakuanmu dan berpalinglah kepadaKu". "Lalu", lanjut sang Sufi, "aku keluar dari diriku bagai seekor ular keluar dari selongsong tubuhnya." Jadi, segala kebajikan terletak pada memerangi kedirian dalam segala hal dan segala keadaan. Karena itu, jika berada pada kesalehan, tundukkanlah kedirian, hingga kau terbebas dari hal-hal terlarang dan syubhat *) dari pertolongan mereka, dari ketergantungan kepada mereka, dari rasa takut terhadap mereka atau dari rasa iri terhadap milikan duniawi mereka. (* Syubhat: sesuatu yang meragukan ihwal halal atau haramnya). Lalu jangan mengharapkan sesuatu dari mereka, baik hadiah, kemurahan, atau pun sedekah. Karenanya bila kau bergaul dengan seorang kaya, jangan mengharapkan kematiannya demi mewarisi hartanya,. Maka, bebaskanlah dirimu dari ikatan makhluk, dan anggaplah mereka itu pintu gerbang yang membuka dan menutup., atau pohon yang kadang berbuah dan kadang tidak. Ketahuilah, peristiwa semacam itu terjadi oleh satu pelaksana, dirancang oleh satu perancang, dan Dialah Allah, sehingga kau beriman pada Keesaan Allah.

Jangan pula melupakan upaya manusiawi, agar tak menjadi korban keyakinan kaum fatalis (Jabariyyah), dan yakinlah bahwa tak suatu pun terwujud, kecuali atas izin Allah Ta'ala. Karena itu, jangan Anda puja upaya manusiawi, karena yang demikian ini melupakan Tuhan, dan jangan berkata bahwa tindakan-tindakan manusia berasal dari sesuatu. Bila demikian, berarti kau tak beriman, dan termasuk dalam golongan Qadariyah. Hendaknya kau katakan, bahwa segala aksi makhluk adalah milik Allah, inilah pandangan yang telah diturunkan kepada kita lewat keterangan-keterangan yang berhubungan dengan masalah pahala dan hukuman.

Dan laksanakan perintah-perintah Allah yang berkenaan dengan mereka (manusia), dan pisahkanlah bagianmu sendiri dari mereka dengan perintahNya pula, dan jangan melampaui batas ini, karena hukum Allah itu pasti menentukanmu dan mereka; jangan menjadi penentu diri sendiri. Kemaujudanmu bersama mereka merupakan takdirNya. TakdirNya merupakan 'kegelapan', maka masukilah 'kegelapan' ini dengan pelita sekaligus penentu; yaitu Kitab Allah (Al Qur'an) dan Sunnah Rasul. Jangan tinggalkan kedua-duanya. Tapi bila di dalam pikiranmu melintas suatu gagasan, atau kau menerima ilham, maka tundukkanlah mereka kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul.

Bila kau dapati larangan dari Al Qur'an dan Sunnah Rasul tentang yang terlintas pada benakmu dan yang kau terima melalui ilham, maka kau mesti menjauhi gagasan dan ilham semacam itu. Yakinilah bahwa gagasan dan ilham itu berasal dari setan yang terlaknat. Dan jika Kitab Allah dan Sunnah Rasul membolehkan gagasan dan ilham itu - semisal pemenuhan keinginan-keinginan yang dibolehkan hukum, seperti makan, minum, berpakaian, menikah, dan lain-lain - maka jauhilah pula gagasan dan ilham itu, jangan menerimanya. Ketahuilah, hal itu merupakan dorongan hewanimu, karenanya, tentanglah dan musuhilah hal itu.

Bila kau dapati tiadanya larangan atau pembolehan di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul, tentang yang kau terima, dan kau tak mengrti -semisal kau diminta pergi ke tempat tertentu, atau menemuhi seseorang yang saleh, padahal melalui karunia ilmu dan pencerahan dari Allah kepadamu, kau tak perlu pergi ke tempat itu, atau menemui si orang saleh itu maka bersabarlah, jangan dulu melakukan sesuatu, dan bertanyalah kepada dirimu sendiri: "Benarkah ini ilham dari Allah dan mesti aku laksanakan ?" Adalah Sunnah Allah, mengulang-ulang ilham semacam itu, dan memerintahkanmu untuk segera berupaya atau menyibakkan isyarat semacam itu bagi para ahli hikmah - suatu isyarat yang hanya bisa dimengerti oleh para wali yang arif dan para badal yang teguh. Karena itu, kau mesti tak segera berbuat, sebab kau tak tahu akibat dan tujuan akhir urusan, cobaan, bahaya dan sesuatu rancangan gaib dariNya.

Maka bersabarlah, sampai Allah Sendiri melakukannya bagimu. Bila tindakan itu atas kehendakNya, dan kau diantarkn ke maqam itu, maka bila cobaan menghadangmu, kau akan melewatinya dengan selamat, karena Allah takkan menghukummu atas tindakan yang dikehendakiNya sendiri, namun Ia akan menghukummu atas keterlibatan langsungmu dalam kemaujudan suatu hal.

Menaati perintah itu meliputi dua hal. Pertama, mengambil dari sarana penghidupan duniawi sebatas keperluanmu, dan mesti menghindari segala pemanjaan kesenangan jasmani, rampungkanlah semua tugas-tugasmu, dan ikatlah dirimu kepada penghalauan segala dosa, yang nyata dan yang tersembunyi. Kedua, berhubungan dengan perintah-perintah-perintah tersembunyi, yakni Allah tak menyruh hambaNya untuk mengerjakan sesuatu, dan tak pula melarangnya. Perintah seperti ini berkaitan dengan hal-hal yang padanya tak ada hukum yang jelas; yakni hal-hal yang tak tergolong terlarang dan tak terwajibkan, dengan kata lain 'tak jelas', yang di dalamnya manusia diberi kebebasan penuh untuk bertindak, dan hal ini disebut mubah. Dalam hal ini tak boleh mengambil prakarsa, tetapi menunggu perintah yang bertalian dengannya. Bila menerima perintah itu, ia taati. Dengan demikian semua gerak dan diamnya menjadi demi Allah.

Jika ada kejelasan hukumnya, ia bertindak selaras dengannya. Bila tak ada kejelasan hukumnya, ia bertindak atas dasar perintah-perintah tersembunyi. Melalui ini, ia menjadi seteguh orang memperoleh hakikat. Bila kau telah sampai pada kebenarannya kebenaran, yang disebut pencelupan (mahwu) atau peleburan (fana), berarti kau berada pada maqam badal yang patah hati demi Dia, suatu keadaan yang dimiliki muwahhid, oarang yang tercerahkan ruhaninya, orang arif, yang adalah amir para amir, pengawas dan pelindung umat, khalifah dati Yang MahaPengasih, kepercayaanNya (alaihimussalam).

Untuk menaati perintah, kau harus melawan kedirianmu, dan bebas dari ketergantunagn kepada segala kemampuan dan kekuatan, dan mutlak harus terhindar dari segala kemauan dan tujuan duniawi dan ukhrawi. Dengan demikian, kau menjadi abdi Sang Raja, bukan abdi kerajaanNya, bukan abdi perintahNya, bukan pula abdi kedirian. Kau seperti bayi dalam asuhan alam, atau mayat yang dimandikan, atau pasien tak sadarkan diri di hadapan sang dokter, dalam segala hal yang berada di luar wilayah perintah dan larangan.

Risalah 11 :
Ia bertutur:

Apabila timbul di dalam benakmu keinginan untuk kawin, padahal kau fakir dan miskin, dan kau tak mampu memenuhinya, maka bersabarlah dan berharaplah senantiasa akan kemudahan dari-Nya, yang membuatmu berkeinginan seperti itu, atau yang mendapati keinginan semacam itu di dalam hatimu, niscaya Ia akan menolongmu, (entah dengan menghilangkan keinginan itu darimu) atau dengan memudahkanmu menanggung beban hidupmu itu, dengan mengaruniaimu kecukupan, mencerahkanmu dan memudahkanmu di dunia dan akhirat.
 Lalu Allah akan menyebutmu sabar dan mau bersyukur, karena kesabaranmu dan keridhaanmu atas ketentuan-Nya. Maka ditingkatkan-Nya kesucian dan kekuatanmu. Dan Allah berjanji untuk senantiasa menambah karunia-Nya atas orang-orang yang bersyukur, sebagaimana firman-Nya : "Se- sungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim: 7)

Maka bersabarlah, tentanglah hawa nafsumu, dan berpegang teguhlah pada perintah-perintah-Nya. Ridhalah atas takdir Yang Maha Kuasa, dan berharaplah akan ridha dan karunia-Nya. Sungguh Allah sendiri telah berfirman: "Hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan menerima ganjaran mereka tanpa batas." (QS. Az Zumar : 10)

Risalah 12 :
a bertutur:
Apabila Allah Yang Maha Agung melimpahimu kekayaan, dan kekayaan itu memalingkanmu dari kepatuhan kepadaNya, niscaya Ia memisahkanmu dari Nya di dunia dan di akhirat. Mungkin juga Ia mencabut karuniaNya darimu, menjadikanmu papa dan melarat, sebagai hukuman atas kepalinganmu dari Sang Pemberi, dan keterpesonaanmu akan karuniaNya.
Tetapi, bila kau senantiasa patuh kepadaNya, dan tak terpengaruh oleh kekayaan itu, Allah akan menambahkan karuniaNya kepadamu, dan sedikit pun takkan menguranginya. Harta adalah abdimu, dan kau adalah abdi Sang Raja. Karena itu, hidup di dunia ini berada di bawah kasih sayangNya, dan hidup di akhirat terhormat dan abadi, bersama-sama para shiddiq, para syahid, dan para shaleh.

Futuuhul Ghoib ( Penyingkap Keghoiban )

Ditulis oleh Dewan Asatidz   
"...(wacana-wacana ini) diilhamkan kepadaku dari khazanah dunia ghaib.." Karya terpenting sang wali -- disamping Fath al-Rabbani dan Qasidah al-Ghautsiyah. Terlepas dari sifatnya yang nyata-nyata mistis, kumpulan berbagai wacana tentang masalah tasawuf ini, mudah dipahami. Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir Jailani, lahir di Jilan, Persia pada 1077M, adalah seorang wali-sufi yang telah mencapai peringkat ghauts -- yang, dalam peristilahan tasawuf, hanya berada setingkat di bawah Nabi. Sebagai seorang mujahid pemelihara ruh Islam, ia adalah muhyiddin (pembangkit iman) yang berpengaruh atas sejarah Islam, hingga kini. tarekat Qadiriyah --salah satu tarekat yang paling popular di dunia Islam, termasuk di Indonesia-- berpangkal pada tokoh ini.

Risalah 1 :
Tiga hal mutlak bagi seorang Mukmin, dalam segala keadaan, yaitu: (1) harus menjaga perintah-perintah Allah, (2) harus menghindar dari segala yang haram, (3) harus ridha dengan takdir Yang Maha Kuasa. Ia bertutur: Tiga hal mutlak bagi seorang Mukmin, dalam segala keadaan, yaitu: (1) harus menjaga perintah-perintah Allah, (2) harus menghindar dari segala yang haram, (3) harus ridha dengan takdir Yang Maha Kuasa. Jadi seorang Mukmin, paling tidak, memiliki tiga hal ini. Berarti, ia harus memutuskan untuk ini, dan berbicara dengan diri sendiri tentang hal ini serta mengikat organ-organ tubuhnya dengan ini.

Risalah 2 :
Ia bertutur : Ikutilah (Sunnah Rasul) dengan penuh keimanan, jangan membuat bid'ah, patuhilah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, jangan melanggar; junjung tinggilah tauhid dan jangan menyekutukan Dia; sucikanlah Dia senantiasa dan jangan menisbatkan sesuatu keburukan pun kepada-Nya. Pertahankan Kebenaran-Nya dan jangan ragu sedikit pun. Bersabarlah selalu dan jangan menunjukkan ketidaksabaran. Beristiqomahlah; berharaplah kepada-Nya, jangan kesal, tetapi bersabarlah. Bekerjasamalah dalam ketaatan dan jangan berpecah-belah. Saling mencintailah dan jangan saling mendendam. Jauhilah kejahatan dan jangan ternoda olehnya. Percantiklah dirimu dengan ketaatan kepada Tuhanmu; jangan menjauh dari pintu-pintu Tuhanmu; jangan berpaling dari-Nya. Segeralah bertaubat dan kembali kepada-Nya. Jangan merasa jemu dalam memohon ampunan kepada Khaliqmu, baik siang maupun malam; (jika kamu berlaku begini) niscaya rahmat dinampakkan kepadamu, maka kamu bahagia, terjauhkan dari api neraka dan hidup bahagia di surga, bertemu Allah, menikmati rahmat-Nya, bersama-sama bidadari di surga dan tinggal di dalamnya untuk selamanya; mengendarai kuda-kuda putih, bersuka ria dengan hurhur bermata putih dan aneka aroma, dan melodi-melodi hamba-hamba sahaya wanita, dengan karunia-karunia lainnya; termuliakan bersama para nabi, para shiddiq, para syahid, dan para shaleh di surga yang tinggi.

Risalah 3 :
Ia bertutur: Apabila seorang hamba Allah mengalami kesulitan hidup, maka pertama-tama ia mencoba mengatasinya dengan upayanya sendiri. Bila gagal ia mencari pertolongan kepada sesamanya, khususnya kepada raja, penguasa, hartawan; atau bila dia sakit, kepada dokter. Bila hal ini pun gagal, maka ia berpaling kepada Khaliqnya, Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa, dan berdo'a kepada-Nya dengan kerendah-hatian dan pujian. Bila ia mampu mengatasinya sendiri, maka ia takkan berpaling kepada sesamanya, demikian pula bila ia berhasil karena sesamanya, maka ia takkan berpaling kepada sang Khaliq. Ia bertutur: Apabila seorang hamba Allah mengalami kesulitan hidup, maka pertama-tama ia mencoba mengatasinya dengan upayanya sendiri. Bila gagal ia mencari pertolongan kepada sesamanya, khususnya kepada raja, penguasa, hartawan; atau bila dia sakit, kepada dokter. Bila hal ini pun gagal, maka ia berpaling kepada Khaliqnya, Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa, dan berdo'a kepada-Nya dengan kerendah-hatian dan pujian. Bila ia mampu mengatasinya sendiri, maka ia takkan berpaling kepada sesamanya, demikian pula bila ia berhasil karena sesamanya, maka ia takkan berpaling kepada sang Khaliq. Kemudian bila tak juga memperoleh pertolongan dari Allah, maka dipasrahkannya dirinya kepada Allah, dan terus demikian, mengemis, berdo'a merendah diri, memuji, memohon dengan harap-harap cemas. Namun, Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa membiarkan ia letih dalam berdo'a dan tak mengabulkannya, hingga ia sedemikian terkecewakan terhadap segala sarana duniawi. Maka kehendak-Nya mewujud melaluinya, dan hamba Allah ini berlalu dari segala sarana duniawi, segala aktivitas dan upaya duniawi, dan bertumpu pada ruhaninya. Pada peringkat ini, tiada terlihat olehnya, selain kehendak Allah Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa, dan sampailah dia tentang Keesaan Allah, pada peringkat haqqul yaqin (* tingkat keyakinan tertinggi yang diperoleh setelah menyaksikan dengan mata kepala dan mata hati). Bahwa pada hakikatnya, tiada yang melakukan segala sesuatu kecuali Allah; tak ada penggerak tak pula penghenti, selain Dia; tak ada kebaikan, kejahatan, tak pula kerugian dan keuntungan, tiada faedah, tiada memberi tiada pula menahan, tiada awal, tiada akhir, tak ada kehidupan dan kematian, tiada kemuliaandan kehinaan, tak ada kelimpahan dan kemiskinan, kecuali karena ALLAH. Maka di hadapan Allah, ia bagai bayi di tangan perawat, bagai mayat dimandikan, dan bagai bola di tongkat pemain polo, berputar dan bergulir dari keadaan ke keadaan, dan ia merasa tak berdaya. Dengan demikian, ia lepas dari dirinya sendiri, dan melebur dalam kehendak Allah. Maka tak dilihatnya kecuali Tuhannya dan kehendak-Nya, tak didengar dan tak dipahaminya, kecuali Ia. Jika melihat sesuatu, maka sesuatu itu adalah kehendak-Nya; bila ia mendengar atau mengetahui sesuatu, maka ia mendengar firman-Nya, dan mengetahui lewat ilmu-Nya. Maka terkaruniailah dia dengan karunia-Nya, dan beruntung lewat kedekatan dengan-Nya, dan melalui kedekatan ini, ia menjadi mulia, ridha, bahagia, dan puas dengan janji-Nya, dan bertumpu pada firman-Nya. Ia merasa enggan dan menolak segala selain Allah, ia rindu dan senantiasa mengingat-Nya; makin mantaplah keyakinannya pada-Nya, Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa. Ia bertumpu pada-Nya, memperoleh petunjuk dari-Nya, berbusana nur ilmu-Nya, dan termuliakan oleh ilmu-Nya. Yang didengar dan diingatnya adalah dari-Nya. Maka segala syukur, puji, dan sembah tertuju kepada-Nya.

Risalah 4 :
Ia bertutur: Bila kamu abaikan ciptaan, maka: "Semoga Allah merahmatimu," Allah melepaskanmu dari kedirian, "Semoga Allah merahmatimu," Ia mematikan kehendakmu; "Semoga Allah merahmatimu," maka Allah mendapatkanmu dalam kehidupan (baru). Ia bertutur: Bila kamu abaikan ciptaan, maka: "Semoga Allah merahmatimu," Allah melepaskanmu dari kedirian, "Semoga Allah merahmatimu," Ia mematikan kehendakmu; "Semoga Allah merahmatimu," maka Allah mendapatkanmu dalam kehidupan (baru). Kini kau terkaruniai kehidupan abadi; diperkaya dengan kekayaan abadi; dikaruniai kemudahan dan kebahagiaan nan abadi, dirahmati,dilimpahi ilmu yang tak kenal kejahilan; dilindungi dari ketakutan; dimuliakan, hingga tak terhina lagi; senantiasa terdekatkan kepada Allah, senantiasa termuliakan; senantiasa tersucikan; maka menjadilah kau pemenuh segala harapan, dan ibaan pinta orang mewujud pada dirimu; hingga kau sedemikian termuliakan, unik, dan tiada tara; tersembunyi dan terahasiakan. Maka, kau menjadi pengganti para Rasul, para Nabi dan para shiddiq. Kaulah puncak wilayat, dan para wali yang masih hidup akan mengerumunimu. Segala kesulitan terpecahkan melaluimu, dan sawah ladang terpaneni melalui do'amu; dan sirnalah melalui do'amu, segala petaka yang menimpa orang-orang di desa terpencil pun, para penguasa dan yang dikuasai, para pemimpin dan para pengikut, dan semua ciptaan. Dengan demikian kau menjadi agen polisi (kalau boleh disebut begitu) bagi kota-kota dan masyarakat. Orang-orang bergegas-gegas mendatangimu, membawa bingkisan dan hadiah, dan mengabdi kepadamu, dalam segala kehidupan, dengan izin sang Pencipta segalanya. Lidah mereka senantiasa sibuk dengan doa dan syukur bagimu, di manapun mereka berada. Tiada dua orang Mukmin berselisih tentangmu. Duhai, yang terbaik di antara penghuni bumi, inilah rahmat Allah, dan Allahlah Pemilik segala rahmat.

Risalah 5 :
Ia bertutur: Bila kau melihat dunia ini, berada di tangan mereka, dengan segala hiasan, dan tipuannya, dengan segala bisa mematikannya, yang tampak lembut sentuhannya, padahal, sebenarnya mematikan bagi yang menyentuhnya, mengecoh mereka, dan membuat mereka mengabaikan kemudharatan tipu daya dan janji-janji palsunya - bila kau lihat semua ini - berlakulah bagai orang yang melihat seseorang menuruti nalurinya, menonjolkan diri, dan karenanya, mengeluarkan bau busuk. Bila (dalam situasi semacam itu) kau enggan memperhatikan kebusukannya, dan menutup hidung dari bau busuk itu, begitu pula kau berlaku terhadap dunia; bila kau melihatnya, palingkan penglihatanmu dari segala kepalsuan, dan tutuplah hidungmu dari kebusukan hawa nafsu, agar kau aman darinya dan segala tipu-dayanya, sedang bagianmu menghampirimu segera, dan kau menikmatinya. Allah telah berfirman kepada Nabi pilihan-Nya: "Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, untuk Kami uji mereka dengannya, dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal." (QS.20 -Thaaha :131). Ia bertutur: Bila kau melihat dunia ini, berada di tangan mereka, dengan segala hiasan, dan tipuannya, dengan segala bisa mematikannya, yang tampak lembut sentuhannya, padahal, sebenarnya mematikan bagi yang menyentuhnya, mengecoh mereka, dan membuat mereka mengabaikan kemudharatan tipu daya dan janji-janji palsunya - bila kau lihat semua ini - berlakulah bagai orang yang melihat seseorang menuruti nalurinya, menonjolkan diri, dan karenanya, mengeluarkan bau busuk. Bila (dalam situasi semacam itu) kau enggan memperhatikan kebusukannya, dan menutup hidung dari bau busuk itu, begitu pula kau berlaku terhadap dunia; bila kau melihatnya, palingkan penglihatanmu dari segala kepalsuan, dan tutuplah hidungmu dari kebusukan hawa nafsu, agar kau aman darinya dan segala tipu-dayanya, sedang bagianmu menghampirimu segera, dan kau menikmatinya. Allah telah berfirman kepada Nabi pilihan-Nya: "Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, untuk Kami uji mereka dengannya, dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal." (QS.20 -Thaaha :131).
Risalah 6 :
Maka Dia menyelamatkanmu dari kejahatan makhluq-Nya, dan menenggelamkanmu ke dalam samudra kebaikanNya; sehingga kau menjadi pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagiaan, kenikmatan, kecerahan, kedamaian, dan kesentosaan. Maka fana (penafian diri) menjadi tujuan akhir, dan sekaigus dasar perjalanan para wali. Para wali terdahulu, dari berbagai maqam, senantiasa beralih, hingga akhir hayat mereka, dari kehendak pribadi kepada kehendak Allah. Karena itulah mereka disebut badal (sebuah kata yang diturunkan dari badala, yang berarti: berubah). Bagi pribadi-pribadi ini, menggabungkan kehendak pribadi dengan kehendak Allah, adalah suatu dosa. Ia bertutur: Lenyaplah dari (pandangan) manusia, dengan perintah Allah, dan dari kedirian, dengan perintah-Nya, hingga kau menjadi bahtera ilmu-Nya. Lenyapnya diri dari manusia, ditandai oleh pemutusan diri sepenuhnya dari mereka, dan pembebasan jiwa dari segala harapan mereka. Tanda lenyapnya diri dari segala nafsu ialah, membuang segala upaya memperoleh sarana-sarana duniawi dan berhubungan dengan mereka demi sesuatu manfaat, menghindarkan kemudharatan; dan tak bergerak demi kepentingan pribadi, dan tak bergantung pada diri sendiri dalam hal-hal yang berkenaan dengan dirimu, tak melindungi atau membantu diri, tetapi memasrahkan semuanya hanya kepada Allah, karena Ia pemilik segalanya sejak awal hingga akhirnya; sebagaimana kuasaNya, ketika kau masih disusui. Hilangnya kemauanmu dengan kehendakNya, ditandai dengan katak-pernahan menentukan diri, ketakbertujuan, ketakbutuhan, karena tak satu tujuan pun termiliki, kecuali satu, yaitu Allah. Maka, kehendak Allah mewujud dalam dirimu, sehingga kala kehendakNya beraksi, maka pasiflah organ-organ tubuh, hati pun tenang, pikiran pun cerah, berserilah wajah dan ruhanimu, dan kau atasi kebutuhan-kebutuhan bendawi berkat berhubungan dengan Pencipta segalanya. Tangan Kekuasaan senantiasa menggerakkanmu, lidah Keabadian selalu menyeru namamu, Tuhan Semesta alam mengajarmu, dan membusanaimu dengan nurNya dan busana ruhani, dan mendapatkanmu sejajar dengan para ahli hikmah yang telah mendahuluimu. Sesudah ini, kau selalu berhasil menaklukkan diri, hingga tiada lagi pada dirimu kedirian, bagai sebuah bejana yang hancur lebur, yang bersih dari air, atau larutan. Dan kau terjauhkan dari segala gerak manusiawi, hingga ruhanimu menolak segala sesuatu, kecuali kehendak Allah. Pada maqam ini, keajaiban dan adialami akan ternisbahkan kepadamu. Hal-hal ini tampak seolah-olah darimu, padahal sebenarnya dari Allah. Maka kau diakui sebagai orang yang hatinya telah tertundukkan, dan kediriannya telah musnah, maka kau diilhami oleh kehendak Ilahi dan dambaan-dambaan baru dalam kemaujudan sehari-hari. Mengenai maqam ini, Nabi Suci saw, telah bersabda: "Tiga hal yang kusenangi dari dunia - wewangian, wanita dan shalat - yang pada mereka tersejukkan mataku." Sungguh, hal-hal dinisbahkan kepadanya, setelah hal-hal itu sirna darinya, sebagaimana telah kami isyaratkan. Allah berfirman: "Aku bersama orang-orang yang patah hati demi Aku." Allah Yang Maha Tinggi takkan besertamu, sampai kedirianmu sirna. Dan bila kedirianmu telah sirna, dan kau abaikan segala sesuatu, kecuali Dia, maka Allah menyegarbugarkan kamu, dan memberimu kekuatan baru, yang dengan itu, kau berkehendak. Bila di dalam dirimu masih juga terdapat noda terkecil pun, maka Allah meremukkanmu lagi, hingga kau senantiasa patah-hati. Dengan cara begini Ia terus menciptakan kemauan baru di dalam dirimu, dan bila kedirian masih maujud, maka Dia hancurkan lagi, sampai akhir hayat dan bertemu (liqa) dengan Tuhan. Inilah makna firman Allah: " Aku bersama orang-orang yang putus asa demi Aku, " Dan makna kata: "Kedirian masih maujud" ialah kemasihkukuhan dan kemasih puasan dengan keinginan-keinginan barumu. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman kepada Nabi Suci saw: "Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku, dengan mengerjakan shalat-shalat sunnah yang diutamakan, sehingga Aku mencintainya, dan apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya, dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya, dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya, dengannya ia bekerja, dan menjadi kakinya, dengannya ia berjalan." Tak dir agukan lagi, beginilah keadaan fana. Maka Dia menyelamatkanmu dari kejahatan makhluq-Nya, dan menenggelamkanmu ke dalam samudra kebaikanNya; sehingga kau menjadi pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagiaan, kenikmatan, kecerahan, kedamaian, dan kesentosaan. Maka fana (penafian diri) menjadi tujuan akhir, dan sekaigus dasar perjalanan para wali. Para wali terdahulu, dari berbagai maqam, senantiasa beralih, hingga akhir hayat mereka, dari kehendak pribadi kepada kehendak Allah. Karena itulah mereka disebut badal (sebuah kata yang diturunkan dari badala, yang berarti: berubah). Bagi pribadi-pribadi ini, menggabungkan kehendak pribadi dengan kehendak Allah, adalah suatu dosa. Bila mereka lalai, terbawa oleh tipuan perasaan dan ketakutan, maka Allah Yang Maha Besar menolong mereka dengan kasih sayangNya, dengan mengingatkan mereka sehingga mereka sadar dan berlindung kepada Tuhan, karena tak satu pun mutlak bersih dari dosa kehendak, kecuali para malaikat. Para malaikat senantiasa suci dalam kehendak, para Nabi senantiasa terbebas dari kedirian, sedang para jin dan manusia yang dibebani pertanggung jawaban moral, tak terlindungi. Tentu, para wali terlindung dari kedirian, dan para badal dari kekotoran kehendak. Kendati mereka tak bisa dianggap terbebas dari dua keburukan ini, karena mungkin bagi mereka berkecenderung kepada dua kelemahan ini, tapi Allah melimpahi rahmatNya dan menyadarkan mereka.




Martabat Makrifat dan Asma Allah

Tasawuf ialah bentuk kebajikan spiritual dalam Islam yang dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan syariat Islam. Jalan-jalan kerohanian dalam ilmu tasawuf dikembangkan dengan tujuan membawa seorang sufi menuju pencerahan batin atau persatuan rahasia dengan Yang Satu. Jadi tasawuf sebenarnya adalah metode yang dianut dan diyakini oleh kelompok yang bernama "Sufi" dalam memahami, menjalankan dan penelusuran rohani dari agama Islam. Maka, tasawuf pada hakekatnya bukanlah suatu ibadah atau hukum yang mempunyai dalil dalam struktur agama Islam. Tasawuf lebih merupakan cara memahami dan menghayati agama, sebagaimana cara dan metode yang dilakukan oleh kelompok lain dalam Islam.

  1. Pengertian Martabat 7?
    Martabat berarti tingkatan. Dalam ajaran tasawuf seorang yang ingin mencari Tuhannya, harus melalui tingkatan-tingkatan, inilah yang disebut Martabat. Tingkatan-tingkatan ini tidak selalu berjumlah tujuh. Tergantung kepada aliran taswuf itu sendiri. Ada yang 7 ada yang lebih dari 7. Tujuh martabat yang harus dilalui oleh seorang sufi adalah : lembah pencarian (talab), cinta ('isyq), makrifat (ma'rifah), kepuasan hati (istighna'), keesaan (tawhid), ketakjuban (hayrat), kefakiran (faqr) dan inklusif (fana').

  2. Selain 99 Asma Allah SWT apakah ada nama yang "dirahasiakan"?
    "Seorang muslim sebaiknya berkeyakinan dan berakidah bahwa termasuk komponen iman kepada Allah adalah iman dengan nama-nama Allah. Yakni iman dengan nama-nama (Allah) yang diajarkan dan diberitahukan kepada kita, baik melalui al-Qur'an maupun melalui petunjuk NabiNya. Jadi nama-nama Allah itu tercantum dalam al-Qur'an maupun hadis shahih. Jumlahnya kita tidak tahu secara pasti, hanya Allah SWT yang tahu. Perspektif yang mengatakan bahwa nama Allah adalah 99 merupakan hasil ijtihad manusia dalam mengumpulkan nama-nama Allah yang tercantum dalam al-Qur'an dan hadis shahih. Dengan demikian kita ikuti saja hasil ijtihad yang ada itu, karena memang tak ada dalil yang menyatakan adanya nama yang dirahasiakan.

  3. Konon dlm tasawwuf orang yg telah mencapai "maqam " boleh meninggalkan salat. Apa benar?
    Ada kelompok-kelompok tasawwuf yang fanatik dan berlebih-lebihan. Seperti dalam menggambarkan martabat atau maqam "fana'", yang berarti inklusi antara makhluk dan Tuhannya, "manunggaling kawulo gusti" seperti yang terjadi pada kisah klasik Syeh Siti Jenar. Pada taraf demikian, seorang sufi berkeyakinan bahwa sudah tidak ada jarak lagi antara dia dan Tuhannya, karena Tuhan telah menjelma dalam dirinya, dan dirinya telah menyatu dengan Tuhan. Di sini lalu ia melihat, kalau ia sudah menyatu dengan Tuhan, lantas apa artinya ibadah yang adalah proses dan jalan mencari Tuhan.

    Namun aliran tasawwuf yang benar, pastilah yang tidak mengantarkan kepada hal-hal yang negatif, karena ajaran tasawwuf tidak lain adalah proses untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau jalan untuk bisa lebih mengenal Allah. Seorang ulama Sufi mengatakan "Mereka yang belajar tasawwuf dan tidak melalui syariat maka ia telah mendekati kekafiran".

  4. Terlepas dari itu semua, bagaimana cara ma'rifat kepada Allah SWT?
    Ma'rifat artinya mengetahui dan mengenal Allah. Panutan kita mengenal Allah adalah Nabi Muhammad saw. Beliau telah mengajarkan semuanya kepada kita cara mengenal Allah. Bagaimana caranya? Tidak lain adalah dengan amal sholeh, memperbanyak ibadah, baik yang fardhu dan yang sunnah, dan menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai keagamaan serta merenungi ciptan-ciptaaNya. Dengan itu semua kita akan dekat kepada Allah, dan dengan begitu kita akan mengenalNya. Allah senantiasa dekat dengan manusia, hanya manusia yang terkadang enggan untuk dekat atau mendekatkan diri kepadaNya.

Hikmah Puasa

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atasa orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa" [al-Baqarah:183]
 

Puasa telah dilaksanakan sejak lama sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu puasa. Dalam sejarah agama-agama besar, puasa sudah tidak asing lagi.

Universalitas puasa bisa dimengerti karena esensi dari puasa itu sendiri bukannya "mengerjakan" melainkan "menahan diri", yakni menahan diri dari makan dan minum, tidak melakukan seksualitas di siang hari serta menghindari sikap hewani yang merusak. Dianjurkan pula ibadah pada malam harinya untuk beribadah (qiyamullail). Karena sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia, sumber segala rahmat dan kebaikan. Allah memberi keberkahan dan maghfirah. Para Malaikat turun untuk ikut memanjatkan do'a dan pujian agar manusia memperoleh ampunan. Semua pintu kebaikan dibuka lebar-lebar serta semua setan "dibelenggu." Rasulullah mengkhususkan bulan ini sebagai bulan untuk beribadah melampaui bulan-bulan lainnya. Demikian juga para sahabat, mereka saling bergegas dalam amal-amal kebaikan semata-mata mengharap ridha Allah SWT.


Hikmah Ramadhan

Selain posisi istimewa di sisi Allah SWT yang diperoleh oleh seorang mukmin yang berpuasa, hikmah dari puasa juga teramat besar. Baik hikmah rohani maupun jasmani, baik terhadap diri pribadi maupun kepada masyarakat luas.

Ramadhan juga sebagai syahrul ibadah (bulan ibadah) dimana terdapat nilai ibadah yang tinggi serta semangat beribadah yang tinggi. Selain itu juga sebagai "Syahrul Fath" (bulan kemenangan). Umat Islam memperoleh kemenangan dalam "perang kecil", perang Badar. Bisa dikatakan juga sebagai "Syahrul Huda" (bulan petunjuk) karena pada bulan Ramadhanlah turunnya petunjuk kehidupan yaitu al-Quran pada pertama kalinya. Selain itu bulan Ramadhan juga disebut sebagai "Syahrul Ghufran" (bulan penuh ampunan). Pada bulan ini, dimudahkan pintu pengampunan dan pembebasan dari api neraka. Sebagai "Syahrus Salam" (bulan keselamatan), bulan Ramadhan adalah bulan yang mengandung nilai-nilai edukatif yang dapat menciptakan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian bagi umat manusia. Dan yang terakhir adalah sebagai "Syahrul Jihad" (bulan perjuangan). Pada bulan ini, manusia dihadapkan pada perjuangan yang amat besar. Mereka menahan diri dari perbuatan yang biasa diperbuat, selain menahan diri dari "ritualitas" makan dan minum sebagai kebutuhan primer sejak fajar sampai terbenamnya matahari. Dan kalau sudah berbuka, dianjurkan untuk menahan diri dari makan dan minum yang berlebihan bahkan dianjurkan untuk membatasinya. Upaya ini merupakan cara untuk memelihara kesehatan jasmani. Bukankah masalah perut (makan dan minum) juga pemicu timbulnya penyakit jiwa? Begitulah kira-kira apa yang dikatakan para sufi.

Kalau penyakit "rakus dan tamak" menimpa seseorang, akibat dan bahayanya bukan hanya terbatas pada lingkungan kecil tetapi lambat laun akan merambat dalam kehidupan berbangsa sehingga akan menimbulkan semangat kapitalisme yang kemudian bersifat ekspansif, yaitu mengeksploitasi milik orang lain akibat sifat serakahnya tersebut. Sehingga benar apa yang disinyalir Imam Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin-nya bahwa bencana paling besar dalam kehidupan manusia adalah nafsu perut.

Kalau kita melaksanakan puasa, kita akan mengadaptasi diri kita dengan mereka yang berekonomi lemah yang sering merasakan haus dan lapar, sehingga akan timbul rasa kasih sayang dan ketajaman rasa sosial yang akan menjadi pengalaman rohani tersendiri. Mungkinkah kasih sayang tidak tumbuh ketika pemandangan itu terjadi di depan mata kita?

Dalam batas yang paling rendah; setidak-tidaknya kehausan dan kelaparan yang diakibatkan puasa tersebut akan mengingatkan kita pada kaum fakir miskin sehingga termanifestasi dengan sedekah yang banyak sebagai tindakan konkrit dari rasa solidaritas sosial yang nantinya akan menjembatani antara the have dan the have not yang pada titik akhirnya akan tercipta sumber daya manusia yang mempunyai etika dan kepekaan sosial yang tinggi.

Masih banyak hikmah-hikmah lain yang bisa kita petik intisarinya dari pelaksanaan puasa. Semoga bukan hanya sekedar idealisme belaka, melainkan sebuah realitas sepanjang masa setelah menjalani Ramadhan.

Semoga saja kita dapat menjadikan Ramadhan sebagai wadah penggemblengan mental sehingga tercipta kontrol diri yang baik yang akan meluas dampaknya ke masyarakat sehingga puasa bukan hanya memperoleh lapar dan haus saja, agar kita tidak tergolong orang-orang yang disinyalir Nabi SAW:

"Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus."

Tapi kita berharap dengan puasa disamping hikmah yang dikandungya, yang paling penting adalah semua semata-mata pengabdian kita kepada Allah SWT.

Semoga ibadah kita diterima Allah SWT. Amien.

========
Dra. Nurhayati Abdul Karim


=========================
Dirangkum dari buku "Kayfa Tuzakki Amwâlak" (Bagaimana Menzakati Harta Anda) karya Dr. Nâjy al-Syarbiny, oleh Kamran As'ad Irsyady.

Rabu, 21 Juli 2010

Pembagian Tauhid

Pembagian Tauhid sebenarnya lebih merupakan masalah methodologis, dalang rangka memudahkan pemahaman bagi kaum awam. Maka di sana kita menemukan bahwa para ulama Islam berbeda-beda dalam membagi Tauhid, bahkan sebagian ulama ada yang kurang sependapat dengan pembagian-pembagian Tauhid tersebut. Namun ada baiknya juga kita mempelajari pembagian-pembagian Tauhid yang dibuat oleh ulama-ulama Islam, dalam rangka memudahkan pemahaman kita terhadap masalah yang cukup penting dalam agama kita ini, yaitu Aqidah.

Para ulama ada yang membagi Tauhid menjadi tiga bagian, yaitu Tauhid Uluhiyah, Rububiyah dan Asma' Sifat. Sebagian lagi ada yang membagi Tauhid menjadi dua, yaitu: Tauhid al-Itsbat wal Ma'rifah (Tauhid Keyakinan dan Pengertian) dan Tauhid fil Thalab wal Qasd (Tauhid Pengharapan dan Penghambaan). Sebenarnya pembagian-pembagian tersebut intinya tetap kepada satu tujuan, yaitu ajaran menyatukan Allah.

Tauhid Rububiyah maksudnya : Keyakinan hamba bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang menciptakan seluruh ciptaan ini dengan sendiri, dan pengakuan bahwa Allah lah satu-satunya Dzat yang mengatur semua ciptaan ini, Yang memiliki alam semesta, Yang menghidupkan seluruh kehidupan dan Yang mematikan seluruh kematian. Termasuk dalam Tauhid Rububiyah adalah iman dan Qadla' dan Qadarnya. Maka Tauhid Rububiyah merupakan landasan awal dari Tauhid-tauhid yang lain. Sedangkan Tauhid Uluhiyah adalah pengakuan dan keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Pengakuan tersebut selanjutnya direalisasikan dalam bentuk penyembahan, ibadah dan pengharapan dari setiap do'a-do'anya. Sebagian ulama mendefinisikan Tauhid Uluhiyah sebagai puncak rasa cinta dan keta'atan kepada Allah. Dengan Tauhid Uluhiyah ini seorang hamba bisa disebut muslim, karena telah melaksanakan perintah-perintah agama, yaitu ibadah. Maka bisa dikatakan bahwa bentuk lahir dari Tauhid Uluhiyah adalah menjalankan rukun-rukun Islam. Seorang hamba bisa saja telah mencapai Tauhid Rububiyah, namun belum mencapai Tauhid Uluhiyah, seperti seseorang yang telah mempercayai keberadaan Allah namun belum mau menegakkan rukun-rukun Islam.

Pembagian Tauhid terakhir adalah Tauhid Asma' Sifat, yaitu kepercayaan bahwa Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna, dengan mengakui dan mempercayai nama-nama dan sifat-sifat Allah yang tercantum dalam kitab suci Al-Qur'an dan yang diceritakan oleh Nabinya Muhammad s.a.w. Tauhid Asma' Sifat lebih merupakan persepsi hamba terhadap Tuhannya dengan pengakuan bahwa Tuhannya adalah yang Maha Sempurna. Iman kepada Asma'ul Husna adalah termasuk dalam Tauhid ini.

Setiap amalan tergantung pada niatnya

Dari Amirul Mu’minin Abu Hafs ‘Umar ibnu Al-Khathab radhiyalallahu ta’ala ’anhu berkata: “Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ia nikahi, maka hijrahnya itu menuju yang ia niatkan’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keistimewaan Hadits Ini
Hadits ini merupakan hadits yang sangat agung, Imam Ahmad berkata: Pokok ajaran Islam terdapat pada 3 hadits:
  1. Hadits 'Umar, Setiap amalan tergantung pada niatnya
  2. Hadits 'Aisyah, Barangsiapa yang membuat suatu amalan dalam islam yang tidak ada asalnya maka amalan tersebut tertolak
  3. Hadits Nu'man bin Basyir, Perkara halal jelas dan perkara haram jelas, diantara keduanya ada perkara yang masih samar-samar
Hal ini karena Islam terdiri dari melaksanakan perintah, menjauhi larangan serta berhenti dari hal yang masih samar darinya yakni perkara mutasyabihat sebagaimanana hadits Nu’man bin Basyir, kemudian dalam melaksanakan hal-hal tersebut dinilai dari 2 sisi, lahir dan bathin, penilaian dari sisi bathin dengan hadits Umar dan penilaian sisi lahir dengan hadits ‘Aisyah, sehingga lengkaplah pokok ajaran Islam dalam 3 hadits tersebut.

Niat
Niat menurut istilah syar'i adalah bermaksud kepada sesuatu yang disertai perbuatan. Jika bermaksud kepada sesuatu tetapi tidak disertai perbuatan maka ini dinamakan azzam.

Imam Nawawi menjelaskan bahwa sabda Rasulullah shalallahu wa 'alaihi wa sallam Setiap amalan tergantung niatnya dibawa pada sihhatul a’mal (sahnya amalan) atau tashhihul a’mal (pembenaran amal) atau qabulul a’mal (diterimanya amalan) atau kamalul a’mal (sempurnanya amalan).

Amalan disini adalah amalan yang dibenarkan syariat, sehingga tidaklah diterima amalan yang dilarang syariat dengan dalih niatnya benar, misalkan seorang kepala rumah tangga yang berkewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya akan tetapi dengan cara mencuri, kemudian dia berdalih “Niat saya kan baik, untuk menafkahi istri dan anak-anak”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utaimin menjelaskan: Dari sabda Nabi shalallahu wa 'alaihi wa sallam Setiap amalan tergantung niatnya dapat diambil kesimpulan bahwa setiap amalan terjadi karena adanya niat pelakunya. Dalam hadits ini terdapat bantahan kepada orang yang selalu was-was, kemudian melakukan amalan beberapa kali, lalu syaitan membisikan kepadanya Sesungguhnya kamu belum berniat. Kita katakan kepada mereka: Tidak, tidak mungkin kalian beramal tanpa niat. Oleh karena itu permudahlah bagi kalian dan tinggalkanlah wa was-was seperti ini.

Adapun tempat niat di dalam hati dan melafadzkannya merupakan bid'ah. Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu'anhu bahwa ia mendengar orang berkata dalam ihramnya, Ya Allah, aku berniat haji atau umrah, Ibnu Umar berkata kepada orang tersebut, Apakah engkau memberitahu manusia? Bukankah Allah lebih mengetahui terhadap apa saja yang ada di jiwamu?

Jenis-jenis Niat
Para ulama membahas niat dengan 2 makna:
  1. Niat yang berarti tujuan amalan tersebut apakah hanya untuk Allah atau disertai tujuan lainnya misalnya riya dan sum’ah
  2. Niat yang merupakan pembeda antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain atau membedakan antara adat kebiasaan dengan ibadah.

Niat, untuk siapa amalan tersebut
Niat amalan yang disertai riya maka akan menghapus pahala. Adapun riya ada 2 jenis:
  1. Mengerjakan amalan karena riya
  2. Mengerjakan amalan karena Allah dan riya
Semua jenis riya ini akan menghapuskan pahala.

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiyalallahu 'anhu dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
”Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, ‘Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa mengerjakan amal perbuatan dimana ia menyekutukan orang lain bersama-Ku di dalamnya, Aku meninggalkannya bersama sekutunya”

An-Nasai meriwayatkan hadits dari Abu Umamah radhiyalallahu ta'ala 'anhu, Ia berkata Seseorang datang kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata, Bagaimana pendapatmu tentang orang yang berperang karena mencari pahala dan nama, apa yang ia dapatkan? Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Ia tidak mendapatkan apa-apa. Beliau bersabda lagi, Sesungguhnya Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang ikhlas dan dimaksudkan untuk mencari keridaan-Nya (AL-Hafidz Al-Iraqi menghasankan hadits ini dalam Takhriju Ahaditsil Ihya)

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiyalallahu 'anhu bahwasanya dia berkata, aku mendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Manusia yang pertama kali di adili pada hari Kiamat ialah orang yang mati di medan laga. Ia didatangkan kemudian Allah memberitahu nikmat nikmat-Nya kepadanya dan iapun mengakuinya. Allah berfirman, “Apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat tersebut?” Orang tersebut menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu hingga aku gugur sebagai syahid”. Allah berfirman, “Engkau bohong, engkau berperang agar dikatakan sebagai pemberani dan betul bahwa engkau sudah dikatakan sebagai pemberani”. Kemudian diperintahkan agar orang tersebut diseret dan tersungkur wajahnya sampai ke neraka. Dan juga orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya dan membawa Al-Quran, orang tersebut didatangkan, kemudian Allah memberitahu nikmat-nikmat-Nya kepadanya dan iapun mengakuinya. Allah berfirman “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat tersebut?” Orang tersebut menjawab, “Aku mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca Al-Quran dijalan-Mu”. Allah berfirman, “Engkau bohong, engkau mempelajari ilmu agar dikatakan sebagai alim dan membaca Al-Quran agar dikatakan sebagai qari dan betul ngkau telah dikatakan seperti itu. Kemudian diperintahkan agar orang tersebut diseret dan tersungkur wajahnya sampai ke neraka. Juga orang yang diberi kemudahan oleh Allah dan diberi dengan berbagai macam harta. Orang tersebut didatangkan kemudian Allah memberitahukan nikmat-nikmat-Nya kepadanya dan iapun mengakuinya. Allah berfirman, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat tersebut?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidak pernah meninggalkan salah satu jalan yang Engkau sukai kalau harta diinfakkan di jalan tersebut melainkan Aku menginfakkan harta didalamnya”. Allah berfirman, “Engkau bohong, engkau melakukan seperti itu agar dikatakan sebagai dermawan, dan betul telah dikatakan kepadamu sebagai orang yang dermawan”. Kemudian diperintahkan agar orang tersebut diseret dan tersungkur wajahnya sampai ke neraka.


Dalam hadits diatas disebutkan bahwa ketika Muawiyah diberitahu tentang hadits ini, ia menangis hingga pingsan. Ketika siuman, ia berkata, “Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya”, Allah azza wa jalla berfirman,
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka” (Huud: 15-16)

Sebagaimana halnya riya, sum’ah juga dapat menghapus pahala amalan. Sum’ah adalah mengerjakan amalan untuk Allah dalam kesendirian (tidak dilihat manusia), kemudian dia menceritakan amalannya itu kepada manusia. Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa berbuat sum’ah (menceritakan amalannya kepada orang lain), maka Allah akan menceritakan aibnya dan barangsiapa berbuat riya’ (memperlihatkan amalannya kepada orang lain), maka Allah akan memperlihatkan aibnya” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya)

Para ulama berkata, “Jika seorang alim yang menjadi teladan, dan ia menyebutkan amalannya itu dalam rangka mendorong orang-orang yang mendengarnya agar mengerjakan amalan tersebut, maka ini tidaklah mengapa” (Syarah Al-Arba'in An-Nawawiyah, Imam Nawawi)

Bagaimana jika seseorang pada awalnya ikhlas karena Allah akan tetapi kemudian muncul riya ketika amalan sedang dilakukan? Apakah amalannya diterima? As-Samarqandi rahimahullah berkata: Amalan yang diniatkan untuk Allah ta'ala diterima, sedangkan amalan yang dia niatkan untuk manusia, maka tertolak. Sebagai contoh orang yang mengerjakan shalat Dzuhur dengan tujuan mengerjakan kewajiban yang diberikan oleh Allah ta'ala kepadanya. Dalam shalatnya, dia memanjangkan rukun-rukun dan bacaannya serta membaguskan gerakannya karena ingin dipuji orang yang melihatnya. Maka orang seperti ini, amalan shalatnya diterima, tetapi panjang dan bagusnya shalat yang dilakukan karena manusia tidaklah diterima. (Syarah Al-Arba'in An-Nawawiyah, Imam Nawawi)

Niat, Pembeda ibadah dengan ibadah lainnya atau ibadah dengan adat
Niat dapat merupakan pembeda ibadah yang satu dengan ibadah lainnya atau ibadah dengan adat kebiasaan. Misalnya seseorang shalat 2 rakaat, shalatnya dapat berupa shalat Tahiyatul Masjid ataupun Shalat Rawatib, yang membedakan adalah niatnya.

Niat juga dapat membedakan antara pekerjaan sehari-hari berupa adat kebiasaan dengan ibadah. Sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam , ``Dan setiap orang mendapat balasan sesuai dengan niatnya``, merupakan penjelasan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan apa-apa dari perbuatannya kecuali apa yang ia niatkan. Sebagai contoh, jika sesorang jima' dengan istrinya, menutup pintu, mematikan lampu ketika hendak tidur dan amalan-amalan lain yang disebutkan dalam nash-nash yang jika itu diniatkan untuk melaksanakan perintah Allah maka ia mendapatkan pahala, adapun jika diniatkan untuk selain itu maka ia tidak mendapatkan pahala.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Dzar secara Marfu':
Dan menggauli istri juga sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, apakah jika salah seorang diantara kita melampiaskan syahwatnya, ia akan mendapatkan pahala? Beliau menjawab Beritahukan kepadaku apa pendapat kalian jika ia menyalurkannya pada tempat yang haram, bukankah ia mendapat dosa? Demikian pula, jika ia menyalurkannya pada tempat yang halal, maka iapun akan mendapat pahala. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad).

Dan juga hadits dari Jabir secara Marfu':
Tutuplah pintu dan sebutlah Nama Allah azza wa jalla karena syaitan tidak dapat membuka pintu yang ditutup, matikan lampu-lampumu dan sebutlah nama Allah, tutuplah bejanamu meskipun hanya dengan tongkat yang kamu letakkan di atasnya dan sebutlah nama Allah, dan ikatlah gerabimu dan sebutlah nama Allah (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)

Hijrah
Setelah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan kaidah bahwa setiap amalan tergantung niatnya, Beliau memberikan contoh berupa hijrah, Barangsiapa yang berhijrah hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ia nikahi, maka hijrahnya itu menuju yang ia niatkan

Asal kata hijrah adalah meninggalkan negeri syirik dan pindah ke negeri Islam. Hijrah dari negeri kafir wajib jika seseorang tidak mampu menampakkan agamanya dengan melakukan syiar-syiar Islam, seperti adzan, shalat jamaah, shalat 'Ied dan syiar-syiar Islam lainnya.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan maka hijrahnya itu menuju yang ia niatkan terdapat unsur penghinaan kepada dunia yang menjadi motivasinya, tidak seperti kata Allah dan Rasul-Nya yang diulang.

Pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini:
  1. Setiap amalan dilakukan pasti dengan adanya niat sebagaimana hadits Setiap amalan tergantung niatnya. Niat tempatnya di hati dan melafadzkannya adalah bid'ah.
  2. Pentingnya mengikhlaskan setiap amalan hanya kepada Allah
  3. Peringatan bahaya riya dan sum'ah, seseorang tidak hanya amalannya tidak terima ketika dibarengi dengan riya akan tetapi juga mendapat adzab sebagaimana hadits dari Abu Hurairah tentang 3 kelompok manusia yang beramal dengan amalan utama akan tetapi tidak ikhlas.
  4. Pentingnya menuntut ilmu karena dengan ilmu dapat diketahui pahala amalan-amalan yang sering dilakukan sebagai adat sehari-hari, amalan tersebut tidak akan mendapat pahala jika kita tidak mengetahui ilmunya dan meniatkan untuk melaksanakan perintah Allah.
  5. Niat menjadi pembeda antara ibadah dan kebiasaan. Ibadah mendapat pahala sedangkan kebiasaan tidak mendapatkan pahala.
  6. Pengajar hendaknya memberikan contoh-contoh ketika menjelaskan sebuah hukum sebagaimana Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam memberikan contoh hijrah ketika menjelaskan masalah niat.
  7. Hijrah merupakan amalan salih jika niatnya benar
Daftar Pustaka:
  1. Jami' Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab
  2. Syarh Al-Arba'in An-Nawawiyah, Imam Nawawi

Pokok-Pokok Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Oleh: Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sha'di.

Ahlus sunnah wal jamaah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya serta beriman kepada hari akhir dan taqdir yang baik dan yang buruk.

Mereka adalah yang bersaksi bahwa Allah adalah Rabb dan Ilah yang diibadahi, Dia Maha Esa dengan semua kesempurnaan-Nya. Mereka beribadah dan mengikhlaskan dien hanya kepada-Nya.

Mereka yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah adalah Sang Pencipta, Yang Mengadakan, Yang Membentuk, Yang Memberi Rizki, Yang Maha Memberi dan Maha Menahan (rizki). Dia mengurusi semua urusan.

Dia adalah Ilah yang diibadahi, Yang diesakan dan yang menjadi tujuan. Dialah Al-Awwalu (yang pertama), tiada lagi sesuatupun sebelum-Nya. Dialah Al-Akhiru (yang akhir) tiada sesuatupun setelah-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi, tiada lagi yang di atas-Nya dan Dialah Al-Batin (yang tersembunyi) yang tiada sesuatupun yang lebih tersembunyi dari pada Dia.

Dialah Yang Maha Tinggi, dengan semua arti dan makna yang terkandung didalamnya. Maha Tinggi dalam Dzat-Nya, Taqdir-Nya dan dalam kekuasaan-Nya.

Dialah yang bersemayam di atas 'Arsy. Dia bersemayam sesuai dengan keagungan, kemulyaan dan ketinggian-Nya yang mutlak. Ilmu-Nya meliputi segala yang tampak dan yang tersembunyi, yang tinggi dan yang rendah tentang hamba-Nya.

Dia mengetahui semua keadaan hamba. Dia Maha dekat lagi Mujib (Mengabulkan do'a).

Sesungguhnya Dzat-Nya tidak butuh kepada makhluq sedangkan semua makhluq membutuhkan-Nya setiap saat. Dia Maha Lemah-lembut dan Penyayang kepada hamba, yang tiada nikmat dien, dunia dan terhindar dari siksa kecuali dari-Nya. Dialah pemberi nikmat.

Sebagian dari nikmat-Nya, ketika sepertiga malam Dia turun ke langit dunia untuk melihat hajat hamba-Nya. Dia berfirman: Tidaklah hamba-Ku meminta kecuali hanya kepada-Ku. Barangsiapa yang berdo'a kepada-Ku niscaya Aku kabulkan, barangsiapa yang meminta pasti Aku beri, barangsiapa meminta ampun pasti Aku ampuni, (yang demikian itu sampai terbit fajar). Dia turun menurut kehendak-Nya dan melakukan apa yang Dia Kehendaki. Tiada sesuatupun yang menyamai-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Ahlus sunnah wal jama’ah meyakini bahwa Allah adalah Al-Haakim' yang di dalam syariat-Nya terdapat hikmah yang sempurna. Tiada ciptaan yang sia-sia. Tidaklah Dia membuat syareat (aturan) kecuali untuk kemaslahatan makhluq.

Dialah At-Tawwab Yang Maha Menerima taubat hamba dan mengampuni kesalahan mereka. Dia Yang Maha Memberi ampunan dari dosa-dosa hamba-Nya yang bertaubat, meminta ampun dan kembali kepada-Nya.

Dialah Asy-Syakur, Dia membalas amalan hamba meskipun amalan itu sedikit dan dia menambah karunia-Nya kepada hamba yang bersyukur.

Ahlus sunnah wal jama'ah mensifati Allah dengan apa yang Dia sifat-kan pada diri-Nya sendiri dan yang disifatkan oleh rasul.

Sifat dzatiyah seperti yang Maha Hidup lagi Sempurna yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Maha Sempurna Qudrah-Nya, Maha Agung lagi Maha Besar, yang Maha Mulia lagi Terpuji-yang segala puji mutlak hanya milik-Nya.

Dan diantara sifat-sifat fi'liyah-Nya, yang berkaitan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, seperti sifat Rahmah (kasih sayang), Ridha, benci dan sifat kalam (berbicara). Dia berbicara dengan apa yang Dia kehendaki dan dengan cara yang Dia kehendaki. Ucapan-Nya takkan pernah habis.

Sesungguhya Al-Qur' an adalah kalamullah-bukan makhluk-yang dari-Nya berasal dan kepada-Nya kan kembali.

Sesungguhnya Dia senantiasa dan terus bersifat, karena Dia mengerjakan yang Dia inginkan dan berbicara dengan apa yang Dia kehendaki. Dia memutuskan perkara hamba-Nya dengan hukum yang ditentukan-Nya, baik berupa hukum syar'i maupun berupa balasan. Dialah Al-Hakiim yang menghakimi, dan Dialah Al-Maalik yang menguasai. Selain Dia adalah dihakimi dan di kuasai. Hamba tidak akan bisa keluar dari hukum dan kekuasaan-Nya.

Ahlus sunnah wal jama’ah beriman kepada apa yang dikabarkan Al-Qur'an dan Hadits mutawatir yaitu: Bahwasannya mereka akan melihat wajah Rabbnya dengan pandangan yang jelas. Dan kenikmatan memandang-Nya adalah sebesar-besar kenikmatan dan keberhasilan mendapat ridha-Nya adalah sebesar-besar kenikmatan.

Mereka meyakini bahwa orang yang mati tanpa ada keimanaan tauhid di dalam hatinya, maka dia kekal di Neraka jahannam selama-lamanya. Sedangkan pelaku dosa besar jika dia mati tanpa taubat dan tak bisa melebur dosa-dosanya serta tidak mendapat syafaat, jika ia masuk neraka, maka tidak kekal di dalamnya. Dan tak seorangpun yang kekal di dalam neraka kalau di dalam hatinya masih terdapat iman walaupuri hanya sebesar biji sawi.

Bahwasanya iman itu mencakup keyakinan hati dan amalan hati, amalan anggota badan dan ucapan lisan. Barangsiapa yang bisa mewujudkannya maka ia menjadi mukmin sejati yang berhak mendapat balasan dan selamat dari siksa. Barangsiapa yang menguranginya maka imannya berkurang menurut kadar pengurangannya. Oleh karena itu iman bertambah dengan ketaatan dan amalan baik dan akan berkurang dengan maksiat dan amalan buruk.

Karakter dasar mereka adalah selalu berusaha dan bersungguh-sungguh dalam hal yang bermanfaat baik urusan die maupun dunia dengan meminta tolong kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Semua gerak-gerik mereka selalu dikerjakan dengan ikhlas dan mengikuti petunjuk rasul serta memberi nasehat kepada ummat dengan petunjuk rasul.

Mereka bersaksi bahwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Allah mengutusnya dengan petunjuk dan dien yang hak agar dien ini menang diantara dien-dien yang lain. Beliau adalah manusia yang (lebih berhak dihormati) oleh kaum muslimin daripada diri mereka sendiri, dan beliau adalah penutup para nabi. Beliau diutus untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan kepada jin dan manusia. Sebagai penyeru (untuk bertauhid) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan pembawa lampu yang terang dengan izin-Nya. Beliau diutus untuk kemaslahatan dien dan dunia, agar hamba beribadahnya kepada-Nya dan meminta rizki hanya kepada-Nya jua.

Mereka mengetahui bahwa beliau adalah orang yang paling berilmu, paling jujur, paling banyak memberi nasehat dan paling agung ucapannya diantara manusia. Sehingga mereka mengagungkan dan mencintainya. Mereka lebih mendahulukan cintanya kepada beliau daripada kepada semua makhluk. Mereka berdien dengan mengikuti beliau, baik pokok maupun cabangnya.
Mereka lebih mendahulukan ucapan dan petunjuk beliau daripada ucapan dan petunjuk orang lain.

Mereka yakin bahwasannya Allah mengumpulkan sifat-sifat utama dan kepribadian yang sempurna pada diri beliau, yang tidak pernah diberikan kepada yang lain. Kedudukan beliau paling tinggi dan paling agung diantara makhluq, serta paling sempurna fadilahnya diantara mereka. Tiada satu kebaikanpun yang tidak ditunjukkan kepada ummatnya, dan tiada satu keburukanpun kecuali telah beliau peringatkan agar menjauhinya.

Mereka juga beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada semua rasul yang diutus. Mereka tidak membedakan salah satu diantara mereka.

Mereka beriman kepada semua taqdir. Tidaklah semua amal yang baik dan yang buruk kecuali Ilmu Allah meliputinya dan Qalam-Nya mencatat. Semua berlaku di atas kehendak-Nya, dan semua terikat dengan hikmah-Nya. Dia juga menciptakan (memberi) kehendak dan kemampuan kepada hamba yang dengannya mereka berbicara dan bekerja menurut kehendak mereka. Allah tidak memaksa hamba terhadap suatu hal tapi disuruh memilihnya. Bagi seorang mukmin lebih memilih dan mencintai keimanan serta dijadikannya sebagai perhiasan di dalam hatinya dan benci terhadap kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan.

Dan landasan pokok ahlus sunnah adalah mereka berdien dengan (taat kepada) nasehat Allah, kitab-Nya, para pemimpin umat dan kepada semua kaum Muslimin. Mereka selalu memerintahkan yang ma'ruf dan melarang yang mungkar sesuai dengan yang diwajibkan dalam syariat. Memerintahkan supaya berbuat baik dengan orang tua dan menyambung silaturahim, berbuat baik kepada tetangga, para penguasa, para pejabatnya dan kepada semua saja yang mempunyai hak.

Mereka selalu menyeru kepada akhlaq yang mulia, kepada kebaikan dan melarang akhlak yang jelek lagi hina.

Ahlus sunnah meyakini bahwa orang mukmin yang paling sempurna iman dan keyakinannya adalah yang paling baik akhlak dan amalnya, paling jujur perkataannya, yang lebih cenderung pada kebaikan keutamaan serta menjauhkan diri dari setiap kejelekan.

Mereka selalu memerintahkan untuk menegakkan syariat-syariat dien dengan apa yang datang dari rasul tentang sifat dan kesempurnaannya serta melarang merusakkan dan merobohkan dien.

Ahlus sunnah memandang bahwa jihad fi sabilillah tetap wajib bersama pemimpin yang baik maupun yang fajir. Jihad adalah puncak ketinggian Islam. Jihad dengan ilmu dan hujah, jihad dengan senjata merupakan fardhlu bagi setiap muslim dengan segala kemampuannya guna membela dien.

Mereka selalu menghimbau agar kaum muslimin satu kata dan berusaha untuk saling mendekatkan hati serta saling berkasih sayang dengan kaum muslimin. Mereka melarang perpecahan, benci, permusuhan dan segala sarananya.

Mereka melarang menganiaya manusia baik darah, harta, maupun kehormatan mereka serta hak-hak mereka, memerintah berbuat adil dan jujur dalam hubungan mu'amalah dengan sesama, serta menganjurkan untuk senantiasa berbuat baik dan mencari keutamaan dalam mu'amalah itu.

Mereka menyakini bahwa sebaik-baik umat adalah umat Muhammad dan sebaik-baik ummat Muhammad adalah para sahabat, khususnya Khulafaur Rasyidin, sepuluh orang yang dijamin masuk surga, ahlul badr, peserta bai'atur ridwan dan orang-orang terdahulu dari Muhajirin dan Anshar. Ahlus sunnah mencintai mereka semua, dan mereka tunduk kepada Allah dengan cara itu.

Mereka menyebarkan kebaikan para sahabat dan mendiamkan kejelekan mereka.

Ahlus sunnah berdien karena Allah dengan menghormati para ulama sebagai petunjuk jalan, para pemimpin yang adil dan orang-orang yang mempunyai maqam (kedudukan) yang tinggi dalam agama, serta mereka yang mempunyai keutamaan diantara kaum muslimin. Mereka memohon kepada Allah supaya terhindar dari keraguan, kesyirikan, perpecahan, kenifakan, akhlak yang jelek dan mereka berdo'a supaya diteguhkan dalam dien nabi Muhammad sampai akhir hayat.

Dengan landasan pokok-pokok inilah ahlus sunnah wal jama'ah beriman, beraqidah dan berda'wah.

Diambil dari Qoulusy Syadid, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sha'di.