Kamis, 22 Juli 2010

Tentang Tarekat dan Tasawuf

Tasawuf, aliran ini telah menjadi realitas keagamaan Islam. Rentang sejarah Islam, telah banyak menampilkan episode-episode yang diperankan oleh komunitas penganut aliaran ini yang sering di sebut "sufi". Berbagai aliran tasawuf telah dikenal oleh peradaban Islam, mulai dari yang paling ortodok, sampai yang paling moderat. Klaim kebenaran atau klaim kesesatan, khususnya yang sering muncul antara ulama salafiyah dan kelompok lainnya dalam masalah ini, tentu tidak bisa kita bela atau kita tentang begitu saja. Banyak ditemukan dalam literatur-literatur tasawuf yang memuat ungkapan-ungkapan atau pemaparan yang mencerminkan, dalam batas tertentu, kesesatan tasawuf, dari segi aqidah. Misalnya ajaran "fana'" yang menggambarkan tingkat terjadinya inklusifitas Allah dan hambanya, yaitu keyakinan bersatunya Allah dengan hamba. Ajaran semacam ini muncul dari aliran tasawuf ortodok. Namun tentunya kita juga kurang bijaksana kalau, hanya karena kesalahan sebagian kelompok tasawuf, lalu kita lupakan jasa-jasa besar mereka dalam mempertahankan Islam dan menyebarkannya bahkan hingga ke tanah air kita Indonesia. Lebih daripada itu, di sana juga terdapat beberapa aliran tasawuf moderat yang justru mencerminkan semangat keislaman yang origin. Banyak hikmah dari peri hidup ulama sufi yang patut kita jadikan tauladan di masa sekarang ini. Seandainya dalam ajaran tasawuf, seperti layaknya aliran-aliran Islam lainnya, terdapat hal-hal yang kiranya keluar dari mainstream syari'ah, maka di situlah perlunya pemahaman dan kajian lebih mendalam, dengan tanpa mengesampingkan aspek-aspek positif yang ada dalam aliran ini.

Adapun tarekat yang ada dalam ajaran tasawuf, tidak lain adalah cara yang digunakan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Cara-cara tersebut tidak lebih dari kombinasi berbagai amalan fardhu dan sunnah yang biasa dilakukan oleh ulama-ulama sufi dalam bermunajat kepada Allah. Dengan demikian sebenarnya semua ritual dalam tarekat mempunyai akar dan landasan dalam ibadah. Hanya masalah kombinasi dan komposisinya yang sering dijadikan alasan oleh kelompok keras untuk menuduhnya bid'ah.

Masalah bid'ah memang masalah dilematis yang dihadapi Islam. Di sini bid'ah hendaknya tidak difahami dalam sekup ritual (ibadah) saja, karena cakupan bid'ah sebenarnya sangat luas, mencakup bidang politik, ekonomi, sosial, kultur, peradaban dan ilmu pengetahuan. Di satu pihak, bid'ah telah mencabik-cabik dan menggerogoti spirit Islam, sehingga dalam banyak hal, agama kita semakin jauh dari spirit aslinya. Di lain pihak, bid'ah telah menjadikan marak dan cantiknya agama kita dan bahkan dalam banyak kasus bid'ah (baca kreatifitas) ini menjadikan Islam mampu menembus rentang waktu dengan fleksibel dan diterima masyarakat. Maka bid'ah oleh sebagian pendapat dibagi menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah dhalalah (sesat). Namun pendapat yang lebih keras tidak mengakui pembagian tersebut dan menyatakan bahwa semua bid'ah sesat.

Kronisnya pembagian dan kriteria bid'ah semacam ini sering dijadikan senjata oleh sebagian kelompok Islam untuk menuduh sesat atau bahkan mengkafirkan kelompok lainnya yang tidak sepaham. Konflik dan pertentangan antar sekte yang saling membidik lawannya dengan senjata bid'ah ini telah begitu banyak membuang potensi dan energi dan bahkan sepirit Islam itu sendiri. Masalah-masalah besar yang mesti diprioritaskan dihadapi dan ditangani umat Islam terbengkelai karena mereka sibuk menghakimi kesesatan dan kekafiran saudaranya seiman.

Dalam menetralisir fenomena perbedaan atau ikhtilaf antar kelompok-kelompok Islam, yang sangat diperlukan adalah sosialisasi "fiqhul ikhtilaf" (fiqih perbedaan). Fiqih perbedaan ini merupakan etika, wawasan, dan solusi untuk menetralisir ketegangan antar kelompok Islam yang mengancam persatuan dan kesatuan umat Islam. Fiqih ini mempunyai bahasan yang cukup luas, namun di sini saya kemukakan beberapa etika ber-ikhtilaf, antara lain:
  1. Memulai dengan "husnuzzan" (prasangka baik) terhadap sesama muslim.
  2. Menghargai pendapat orang lain sejauh pendapat tersebut mempunyai dalil.
  3. Tidak memaksakan kehendak bahwa pendapatnyalah yang paling benar, karena pendapat lain juga mempunyai kemungkinan benar yang seimbang.
  4. Mengakui adanya perbedaan dalam masalah furu'iyah (cabang-cabang ajaran) dan tidak membesar-besarkannya.
  5. Tidak mengkafirkan orang yang telah mengucapkan "Laailaaha illallah".
  6. Mengkaji perbedaan secara ilmiyah dengan mengupas dalil-dalilnya.
  7. Tidak beranggapan bahwa kebenaran hanya satu dalam masalah-masalah furu'iyah (cabang-cabang ajaran), karena ragamnya dalil, di samping kemampuan akal yang berbeda-beda dalam menafsiri dalil-dalil tsb.
  8. Terbuka dalam menyikapi perbedaan, dengan melihat perbedaan sebagai hal yang positif dalam agama karena memperkaya khazanah dan fleksibillitas agama. Tidak cenderung menyalahkan dan menuduh sesat ajaran yang tidak kita kenal. Justru karena belum kenal, sebaiknya kita pelajari dulu latar belakang dan inti ajarannya.